Di sini saya tidak ingin mengomentari argumentatif yang disampaikan oleh para nara sumber di Kabar Petang TV One (29/8) bertajuk "Koalisi Prabowo Duplikat Politik Jokowi?", terkait peralihan nama koalisi kubu pendukung Prabowo Subianto dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) ke Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Di sini saya juga tidak ingin mengomentari apakah pemakaian nama ini sudah sepengetahuan, seizin atau serestu Presiden Jokowi?
Di sini saya juga tidak ingin berpretensi adakah peralihan nama ini merupakan endorse atau cawe-cawe Presiden Jokowi?
Di sini saya tidak menyukai kata "duplikat", seperti yang tertera di "Koalisi Prabowo Duplikat Politik Jokowi?".Â
Karena kalau merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "duplikat" bermakna sebagai salinan yang serupa benar dengan aslinya. Jadi, adakah KIM sebagai salinan politik Jokowi, kira-kira begitu maknanya.
Terlepas dari semua itu. Di sini saya hanya mencoba membaca peralihan nama koalisi Prabowo yang didukung Partai Gerindra, PKB, Golkar dan PAN, dalam perspektif semiotika sebagai bahasa tanda. Â
Dalam kajian semiotika, sebagaimana dikemukakan Charles Sanders Peirce bahwa sebagai sebuah bahasa tanda, semiotika bermakna dan berfungsi untuk mengemukakan sesuatu pesan. Lewat saluran komunikasi ini pesan dari bahasa tanda tersebut disampaikan. Â Â Â
Begitu halnya ketika terhubung dengan konteks semiotika KIM dan KKIR atas judul "Koalisi Prabowo Duplikat Politik Jokowi?".Â
Dalam perspektif semiotika, saya lebih menyukai makna kata KKIR -- Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya -- saya anggap lebih berpamor dan magis.
Kenapa kata "Kebangkitan Indonesia Raya" saya anggap lebih berpamor dan magis?Â
Karena saya anggap bahwa saat ini butuh spirit kebangkitan keluar dari krisis multidimensional dalam kehidupan berbangsa, salah satunya terkikisnya kemesraan sosial akibat terjadinya polarisasi oleh stigmatiasi politik identitas.
Siapa pun capres yang terpilih di Pilpres 2024, yang kita butuhkan adalah sosok pemimpin yang mampu merajut dan menyatukan kembali retakan-retakan kemesraan sosial dalam kehidupan berbangsa yang disemboyani Bhinneka Tunggal Ika.
Apalagi  kini terbelah dan terpolarisasi oleh stigmatisasi sentimen politik maupun lantaran oleh pengopinian ujaran sentimen primodial politik identitas bernada SARA.
Sementara kalau kita merujuk pada terminologi "kebangkitan", didalamnya sudah mencakup makan kata "maju".Â
Jadi makna kata "kebangkitan" didalamnya sudah mengisyaratkan dan mensyaratkan kata "maju" atau "kemajuan", menuju Indonesia Maju.
Kita tidak akan bergerak maju tanpa spirit kebangkitan. Justru dengan kebangkitan, kita bangkit untuk maju, maju menuju kebangkitan Indonesia Raya. Â
Atas dasar kebangkitan Indonesia Raya, di sini saya sengaja mengakhiri tulisan ini dengan cuplikan lirik lagu karya WR Supratman "Indonesia Raya":
Hiduplah tanahku / Hiduplah negeriku / Bangsaku, rakyatku, semuanya / Bangunlah jiwanya / Bangunlah badannya / Untuk Indonesia Raya.
Alex Palit, jurnalis pengamat politik Aliansi Pewarta Independen "Selamatkan Indonesia", penulis buku "2024 Kenapa Harus Prabowo Subianto Notonegoro".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H