Di sini saya tidak ingin mengomentari hasil berita terbaru sebuah survei yang dirilis Indikator Politik Indonesia (20/2), yang dilakukan 15 Januari hingga 17 Februari, menyebutkan 71 persen responden puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam dua bulan terakhir.
Di sini saya juga tidak ingin mengomentari Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru bisa cair saat usia 56 tahun, yang banyak menuai kritik.
Di sini saya juga tidak ingin mengomentari membanjirnya kritisi atas kewajiban pelampiran kartu BPJS Kesehatan menjadi syarat dalam peralihan pendaftaran hak atas tanah atau jual beli tanah yang tertuang di Inpres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Termasuk di sini saya tidak ingin mengomentari ragam kritisi Inpres Nomor 1 Tahun 2022, di mana salah satunya mensyaratkan pemohon Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) harus terdaftar sebagai anggota BPJS Kesehatan.
Kritik Platon Terhadap Kaum SofisÂ
Di sini pandangan saya malah tertuju pada dua buku Platon (Plato) yaitu Republik dan Sofis. Disebutkan, pada pertengahan abad ke-5 SM muncul aliran baru dalam filsafat Yunani, yang berlainan sifat dan cara pandang dengan yang ada dalam berfilsafat. Aliran itu dinamai Sofisme atau Sofistik, berasal dari "Shopos" yang artinya cendekia, cerdik pandai lantaran pengetahuan yang dimiliki.
Sebagai cendekia yang piawai di bidangnya, kaum Sofis akan menunjukkan atau mempertontonkan kepiawaiannya atas bidang yang ditangani dengan segala argumentasinya sehingga membuat terpesona bahkan sampai terpedaya olehnya.
Ia bukan saja jago beretorika dan cerdik bersilat lidah dalam memainkan argumentasi, juga piawai menjajakan dan pemaparkannya dalam rangka mengkonstruksi opini publik berdasar klaim kebenaran atas dasar subjektivitas tolok ukurnya.
Disebutkan oleh Platon, kaum Sofis adalah pakar yang benar-benar pintar dan licin cenderung licik. Mereka tahu segala macam jawaban yang dibutuhkan, dan tahu jawaban mana yang seharusnya tidak dipakai. Dan, para Sofis akan meminta imbalan biaya untuk pengetahuan yang mereka sumbangkan.
Kisah keberadaan kaum Sofis dengan segala sepak terjangnya, bukan hanya ada di zaman Yunani Klasik di pertengahan abad ke-5 SM. Kisah ini juga terjadi di abad XXI, bahkan terjadi di Indonesia. Antara lain terlihat di mana "kaum Sofis" ini tumbuh subur bagai jamur di musim hujan, alias tumbuh subur di musim Pilpres.
Sebagaimana disebutkan, di mana "kaum Sofis" dalam menjajakan kepintarannya kepada siapa pun yang membutuhkan jasanya dilakukan demi uang.