Mohon tunggu...
Alex Palit
Alex Palit Mohon Tunggu... Jurnalis - jurnalis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Skeptisisme dan Peran Kritis Pers

15 Desember 2021   17:37 Diperbarui: 15 Desember 2021   20:30 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara harafiah, makna kata skeptisisme adalah ragu, meragukan atau menyangsikan terhadap pendapat-pendapat yang diterimanya, termasuk meragukan kebenaran pendapat tersebut. Dalam artian kita tidak boleh menerima dan menelan mentah-mentah pendapat tersebut sebagai realitas kebenaran. Untuk itu perlu adanya pengujian realitas kebenaran atas pendapat tersebut. Jadi dalam hal ini skeptisisme adalah suatu pengertian yang mengajarkan sikap kritis-analistis terhadap pendapat-pendapat yang diragukan kebenarannya. Kunci dari skeptisisme, meragukan segalanya.

Seperti dikatakan Pyrrhon (360 -- 270 SM), salah satu tokoh pengibar aliran skeptisisme Yunani Kuno, bahwa kita tak dapat mengenali realitas secara sepenuhnya sehingga orang harus mengesampingkan atas segala klaim pengetahuan, termasuk keputusan mengenainya. Untuk itu, kata Pyrrhon, kita harus menanyakan tiga hal pada diri sendiri: Pertama, bagaimana adanya realitas itu dan bagaimana realitas terjadi. Kedua, bagaimana kita terhubung dengan realitas itu. Ketiga, bagaimana kita harus bersikap terhadap realitas itu.

Bagi Pyrrhon, skeptisisme adalah pertautan dari sikap menahan keputusan diri untuk memperoleh realitas kebenaran tersebut sebelum memberikan penilaian benar tidaknya. Sedangkan untuk memutuskan mana yang benar atau salah dari kebertentangan yang begitu banyak, kita memerlukan suatu kriterium tentang kebenaran.

Dalam hal ini Pyrrhon mengajarkan bahwa kebenaran tidak dapat diduga. Kita harus sangsi terhadap sesuatu yang dikatakan orang benar sebelum diketahui dengan pasti. Bisa saja yang diterima dari orang ke orang, rupanya saja "benar" tapi belum tentu benar. Karena itu orang harus meragukan atau menyangsikannya.

Sikap skeptisisme, meragukan atau menyangsikan terhadap pendapat-pendapat yang diterimanya  merupakan bentuk kritis-analitis sebelum memutuskan dan menilai atas realitas kebenaran tersebut, benar tidaknya.

Di tengah arus pergumulan perang simulasi pencitraan elektabilitas para kandidat capres dengan memanfaatkan media pers untuk membangun opini publik jelang Pilpres, hendaknya pers juga tidak menelan mentah-mentah berita yang diterimanya, tetap kritis, bahkan kalau perlu menggunakan jurus skeptisisme terhadap nara sumber.

Sikap skeptisisme ini juga harus dipunyai insan pers ketika dihadapkan pada nara sumber atas segala klaim yang dianggapnya sebagai kebenaran. Di mana skeptisisme itu sendiri merupakan bentuk kritis dalam menyikapi atas segala klaim yang dianggap sebagai kebenaran, termasuk pembenaran diri dari pihak manapun.

Mengingat dampak pers begitu kuat dalam masyarakat, tak mengherankan bila kemudian panggung pers dimanfaatkan sebagai media atau sarana mengkonstruksi pembentukan opini publik. Untuk itu pers harus tetap mawas diri.

Selain skeptisisme, pers harus tetap menjaga independensi dan bersikap kritis setiap menerima berita dari nara sumber. Dalam artian seorang jurnalis tidak langsung menelan mentah-mentah begitu saja atas sebuah klaim berita yang diterima atau apa yang terucap dari nara sumber, perlu digali mendalam secara kritis dengan menggunakan ketajaman kritis-analitis.

Terkait tahun politik jelang Pilpres, pers juga harus memberi edukasi kepada masyarakat sebagai subjek penerima berita, bukan semata-mata sebagai objek yang disodori berita-berita yang diplintir sebagai klaim kebenaran. Untuk itu peran pers harus disertai rasa tanggung jawab etik jurnalistik atas segala berita yang diterima sekaligus yang disajikan ke khalayak.

Alex Palit, citizen jurnalis, pernah bekerja sebagai wartawan di Persda Kompas -- Gramedia. Menulis buku "Nada-Nada Radikal Musik Indonesia", "Ngaji Deling -- Ratu Adil 2021 / 2024", dan "Indonesia Memilih Presiden -- Menerawang Figurisasi Satrio Pinilih Notonegoro Dalam Perspektif Ratu Adil Jayabaya dan Filsuf Raja Platon -- 7 Calon Presiden Indonesia 2021 / 2024" yang segera terbit. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun