Di tengah maraknya tebar pesona kandidat calon presiden (capres) untuk mengorbitkan pencitraan elektabilitas jelang pemilihan presiden (Pilpres) mendatang. Hal lain tak kalah menarik yang kini banyak mendapat sorotan yaitu mengenai presidential threshold. Di mana dengan pemberlakuan besaran ambang batas presidential threshold 20%Â untuk bisa mengajukan capres dinilai sebagai bentuk pengebirian demokrasi.
Sebagai citizen jurnalis penulis buku "Indonesia Memilih Presiden -- Menerawang Figurisasi Satrio Pinilih Notonegoro Dalam Perspektif Ratu Adil Jayabaya dan Filsuf Raja Platon -- 7 Calon Presiden Indonesia 2021 / 2024", yang juga menyinggung masalah Presidential Threshold, langkah mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, juga Ferry Juliantoro dan  anggota Dewan Perwakilan Daerah Fakhrurozi dan Bustami yang mengajukan gugatan atau Judicial Review 0 % terkait Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden ke MK (Mahkamah Konstitusi), perlu mendapat apresiasi.
Pemberlakuan besaran ambang batas Presidential Threshold 20%Â untuk bisa mengajukan capres bukan saja dinilai sebagai bentuk pengebirian demokrasi, sekaligus dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, di mana setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan.Â
Hal ini mengartikan pula, setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai capres.Â
Sedang di sisi lain muncul penilaian bahwa pemberlakuan Presidential Threshold 20%Â tak lain adalah sebagai upaya pelanggengan terhadap oligarki kekuasaan yang bisa menjadi preseden buruk bagi kehidupan demokrasi.
Merebaknya tuntutan penghapusan pemberlakuan Presidential Threshold 20% menjadi 0% tak lain adalah memberi peluang dan kesempatan warga negara yang memang memiliki kapabilitas dan elektabilitas untuk diajukan atau maju sebagai capres. Sekaligus memberi peluang bagi munculnya pemimpin alternatif berkompetisi di Pilpres.Â
Sebagaimana  Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menegaskan bawah kedaulatan berada di tangan rakyat. Maka makna kata tersebut mengartikan pula bahwa rakyat memiliki hak untuk menentukan dan memilih pemimpinnya sesuai pilihan hati nurani. Dari apa yang tersurat dan tersirat di kedua pasal dan ayat tersebut, manakala ada tuntutan kehendak rakyat munculnya capres alternatif setidaknya hal ini juga harus diapresiasi.
Alex Palit, citizen jurnalis Aliansi Pewarta Independen #SelamatkanIndonesia, pernah bekerja sebagai wartawan di Persda Kompas -- Gramedia. Menulis buku "Nada-Nada Radikal Musik Indonesia", "Ngaji Deling -- Ratu Adil 2021 / 2024", dan "Indonesia Memilih Presiden -- Menerawang Figurisasi Satrio Pinilih Notonegoro Dalam Perspektif Ratu Adil Jayabaya dan Filsuf Raja Platon -- 7 Calon Presiden Indonesia 2021 / 2024" yang segera terbit. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H