Saya sempat tersentak, kaget dan miris dengan berita tersebut. Tapi di sini saya sengaja tidak ingin mengomentari peristiwa dramatis upaya percobaan aksi bunuh diri Ketua Harian Asosiasi Kafe dan Restoran (AKAR) di depan Balai Kota (Balkot) Bandung, sebagai bentuk protes atas ekspresi kekecewaan berkaitan penerapan PPKM.
Apa yang dilakukan Ketua Harian AKAR merupakan keputusasaan yang tidak terbendung lagi. Hilangnya harapan. Sehingga ia harus memutuskan jalan keluar dengan cara tragis bunuh diri.
Kalau kita merujuk pada ungkapan filsuf eksistensialis Albert Camus yang banyak menyorot persoalan absurditas, adakah apa yang dilakukan Ketua Harian AKAR ini tercuat makna nilai eksistensial atau sebaliknya hanya sebagai sebuah absurditas, nihilisme, keputusasaan, kemalangan dan ketakberdayaan. Di mana di fase  ini seseorang kemudian dihadapkan pada titik eksistensialismenya.
Bahkan pada titik ini, seperti dinyatakan penulis novel "La Peste" (Sampar), kematian merupakan pergumulan terakhir manusia sebagai bentuk eksistensialis karena kematian merupakan kunci terakhir untuk menilai kehidupan ini.
Penulis buku Perlawanan, Pemberontak, Kematian dan peraih Nobel Kesusastraan (1957), melihat kematian sebagai pengalaman terakhir eksistensialis manusia Persoalan kematian ini sebagai kunci absurditas. Dari sudut eksistensialis, pandangan Camus bertolak dari kenyataan dunia yang pahit, penuh dengan penderitaan, dan kemalangan.
Kenyataan dunia yang pahit ini sering menjadikan seseorang dihadapkan pada keputusasaan dan memilih jalan hidupnya berdasar logikanya sendiri sebagai bentuk eksistensialisnya. Dalam keterasingan inilah manusia merasakan hidupnya absurd, tanpa arti, dan kemudian apa yang diperbuatnya itu dianggapnya sebagai jalan keluar untuk menghadapi keterasingan dan keputusasaan tersebut. Walaupun kemudian pilihan yang ditempuhnya ini harus berakhir dengan cara bunuh diri.
Terhadap situasi kehidupan yang absurd ini, manusia harus menentukan sikapnya. Manusia yang menyadari akan absurditasnya atau absurditas kehidupan ini kemudian membuatnya menyerah dan menjadi putus asa, tetapi dapat juga menjadi "pemberontak" yaitu dengan mengekspresikan diri bunuh diri.
Semoga kisah tragis bunuh diri dan absurditas di tengah keputusasaan rakyat yang terdampak oleh pemberlakuan PPKM yang banyak membawa penderitaan ini segera diakhiri.
Alex Palit, citizen jurnalis Jaringan Pewarta Independen #SelamatkanIndonesia, pernah bekerja sebagai wartawan di Persda Kompas -- Gramedia. Menulis buku "Nada-Nada Radikal Musik Indonesia" dan "Ngaji Deling -- Ratu Adil 2021 / 2024".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H