Mohon tunggu...
Alex Palit
Alex Palit Mohon Tunggu... Jurnalis - jurnalis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Music

"Jangan Diam" Pluralis Band

12 Juli 2021   13:20 Diperbarui: 12 Juli 2021   14:14 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pluralis Band (foto dok Didik L. Pambudi)

Kalau orang baik diam saja / Maka orang jahat berkuasa

Kalau orang baik tutup mata / Maka terjadilah hukum rimba

Jangan diam, jangan diam, lakukan sesuatu / Teriakkan kebenaran, rakyat kan bersamamu

Saya sempat dibuat penasaran oleh lagu nyelonong di Google -- Play Music di HP tanpa tertulis judul lagu dan siapa penyanyinya, mantap juga lagunya, nuansa liriknya sangat kontekstual. Akhirnya saya cari di Google dengan menuliskan cuplikan liriknya, barangkali nongol, zonk. Berikutnya saya cari di youtube, dengan pola sama, menulis cuplikan lagunya, ketemu. Judul lagunya "Jangan Diam" -- Pluralis Band.

Begitu ketemu di youtube, langsung saya tonton sampai tuntas sampai ke titelnya, tertulis bahwa lagu tersebut ciptaan Didik L. Pambudi, aransemen musiknya digarap John Lewier.

Nama Didik L. Pambudi, ternyata bukan nama yang asing, kebetulan kita sama-sama gabung di grup WA "Vokalis Rock Indonesia" (VRI). Langsung saja saya kontak dia, untuk mengorek tentang lagu tersebut, juga Pluralis Band.   

Grup band asal Jakarta pelantung lagu "Jangan Diam" ini dibentuk pertengahan tahun 2012 ini digawangi Didik L. Pambudi (vokal), John Lewier (gitar), Restu (drum), dan Iful (bass).

Menurut Didik L. Pambudi, lagu yang dirilis 10 Desember 1918 ini diilhami pernyataan yang Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY): "Jangan Diam. Do Something! Jika yang baik diam, yang jahat menang", ungkap penyuka sastra yang juga pernah menggeluti dunia jurnalistik.

Disebutkan pula, bahwa filosofis "Jangan Diam" itu merupakan kata-kata Ali bin Abi Thalib, sahabat sekaligus menantu Nabi Muhammad, "Kezaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orang jahat. Tapi karena diamnya orang-orang baik," ungkapnya.  Lebih lengkapnya, sungguh tiada yang menyukai kezaliman terus berlangsung dan merajalela dalam masyarakat, kecuali oleh orang-orang yang hatinya telah berpaling dari kebenaran.

Selain SBY, kata-kata senada juga saya temui di buku "Prabowo Subianto -- Surat Untuk Sabahat": "Kalau orang baik diam, yang menang dan berkuasa adalah orang-orang jahat dan tidak baik."

Di sini saya bukan bermaksud menarik ke ranah politis. Tapi bagi musisi, musik itu sendiri tak bedanya sebagai media komunikasi yang bisa bermakna lebih dari sekadar rangkaian instrumentasi bunyi. Karena musisi tak beda dengan jurnalis yaitu sama-sama sebagai pewarta. Kalau jurnalis mewartakan kesaksiannya lewat bahasa tulisan, sedang musisi merekam hasil amatannya lalu diolah dengan segenap imajinasi seninya kemudian diekspresikan dan dituangkan lewat bahasa musik, lagu, dan nyanyian.

Dengan bahasa musik, ia mengekspresikannya, apa itu lewat ungkapan puitisasi syair lirik lagu -- atau nada-nada itu sendiri -- yang mana didalamnya bisa berupa tuangan cerita, pesan, harapan, kritik, bahkan pernyataan sikap, atau apapun itu. Sebagai karya seni, musik pada hakikatnya tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.

Bahkan daya kritis musisi dalam melihat persoalan bangsa tidak kalah dengan pengamat politik sekalipun. Hanya beda media penyampaian. Kalau pengamat politik menyampaikan amatannya lewat analisa-analisa didasarkan pada referensi teoritis. Sementara musisi lebih pada aspek sosio kultural atau kesenian, walau ketajamannya tidak kalah dengan pengamat politik.

Termasuk saat menyampaikan kritik atau protes yang dibungkus dalam bahasa yang lebih puitis, plastis, simbolik, dan interpretatif. Bahkan secara artikulatif, musik protes bisa lebih lantang walau tanpa serta-merta menuding batang hidung siapa pun yang dikritiknya. Tak jarang apa yang diungkapnya merupakan ekspresi protes, kritik, atau bahkan berfungsi sebagai kontrol sosial sebagai ekspresi dari apa disaksikan dalam realitas kehidupan.

Begitu pun dengan "Jangan Diam", apa yang dikumandangkan Pluralis Band pada intinya adalah sebagai refleksi kritis atas realitas sosial yang ada di tengah masyarakat. Karena bukan tidak mungkin dari syair atau puitisasi bait-bait lirik di lagu tersebut -- atau bahkan nada-nada itu sendiri -- terkandung pesan yang ingin disampaikan oleh sang musisi atau pencipta lagu tersebut lewat bahasa musik untuk kemudian diinterpretasikan, diterjemahkan, dimaknai dan diapresiasi dalam konteks zaman, kemarin, kini dan esok.

Karena musik itu sendiri tidak pernah mati. Ia akan terus hidup mengatasi ruang dan waktu. Bahkan bukan tidak mungkin apa yang tersurat dan tersirat di lagu tersebut masih relevan atau menemukan kembali relevansinya secara kontekstual dengan realitas sosial yang terjadi saat ini.

Dan buat saya menikmati musik atau mendengarkan sebuah lagu tak bedanya seperti sedang membaca bagian sebuah bab buku, di mana imajinasi saya larut dalam interpretasi lirik lagu tersebut. Bahkan imajinasi saya melayang melambung jauh dan hinggap masih relevankah -- atau bahkan adakah syair lirik lagu tersebut menemukan kembali relevansinya secara kontekstual -- dengan realitas sosial saat ini.

Bila Anda juga penasaran dengan lagu "Jangan Diam", silahkan klik: 
Alex Palit, jurnalis musik, penulis buku  "Sejarah Festival Rock se-Indonesia -- Log Zhelebour" dan "Nada-Nada Radikal Musik Indonesia".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun