Dengan bahasa musik, ia mengekspresikannya, apa itu lewat ungkapan puitisasi syair lirik lagu -- atau nada-nada itu sendiri -- yang mana didalamnya bisa berupa tuangan cerita, pesan, harapan, kritik, bahkan pernyataan sikap, atau apapun itu. Sebagai karya seni, musik pada hakikatnya tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Bahkan daya kritis musisi dalam melihat persoalan bangsa tidak kalah dengan pengamat politik sekalipun. Hanya beda media penyampaian. Kalau pengamat politik menyampaikan amatannya lewat analisa-analisa didasarkan pada referensi teoritis. Sementara musisi lebih pada aspek sosio kultural atau kesenian, walau ketajamannya tidak kalah dengan pengamat politik.
Termasuk saat menyampaikan kritik atau protes yang dibungkus dalam bahasa yang lebih puitis, plastis, simbolik, dan interpretatif. Bahkan secara artikulatif, musik protes bisa lebih lantang walau tanpa serta-merta menuding batang hidung siapa pun yang dikritiknya. Tak jarang apa yang diungkapnya merupakan ekspresi protes, kritik, atau bahkan berfungsi sebagai kontrol sosial sebagai ekspresi dari apa disaksikan dalam realitas kehidupan.
Begitu pun dengan "Jangan Diam", apa yang dikumandangkan Pluralis Band pada intinya adalah sebagai refleksi kritis atas realitas sosial yang ada di tengah masyarakat. Karena bukan tidak mungkin dari syair atau puitisasi bait-bait lirik di lagu tersebut -- atau bahkan nada-nada itu sendiri -- terkandung pesan yang ingin disampaikan oleh sang musisi atau pencipta lagu tersebut lewat bahasa musik untuk kemudian diinterpretasikan, diterjemahkan, dimaknai dan diapresiasi dalam konteks zaman, kemarin, kini dan esok.
Karena musik itu sendiri tidak pernah mati. Ia akan terus hidup mengatasi ruang dan waktu. Bahkan bukan tidak mungkin apa yang tersurat dan tersirat di lagu tersebut masih relevan atau menemukan kembali relevansinya secara kontekstual dengan realitas sosial yang terjadi saat ini.
Dan buat saya menikmati musik atau mendengarkan sebuah lagu tak bedanya seperti sedang membaca bagian sebuah bab buku, di mana imajinasi saya larut dalam interpretasi lirik lagu tersebut. Bahkan imajinasi saya melayang melambung jauh dan hinggap masih relevankah -- atau bahkan adakah syair lirik lagu tersebut menemukan kembali relevansinya secara kontekstual -- dengan realitas sosial saat ini.
Bila Anda juga penasaran dengan lagu "Jangan Diam", silahkan klik:Â
Alex Palit, jurnalis musik, penulis buku  "Sejarah Festival Rock se-Indonesia -- Log Zhelebour" dan "Nada-Nada Radikal Musik Indonesia".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H