Mohon tunggu...
Alex Nggebu
Alex Nggebu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

I am just a human

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Suksesnya UN (bisakah) Membangun Karakter Siswa

4 Juni 2012   13:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:24 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hampir semua  kabupaten dan kota di Indonesia  merasa berhasil dalam mengelola pendidikan. Hal ini tercermin dari  tingkat kelulusan siswa dalam UN yang rata - rata diatas  90 %.

Memang semua patut tersenyum puas atas raihan prestasi itu, akan tetapi jika dicermati semua raihan itu tentu akan menjadi tanda tanya besar. Bagaimana bisa di beberapa kabupaten dan kota peserta yang lulus UN mencapai 100 %.  Angka seratus persen berarti tidak ada yang harus mengulang atau tidak ada yang gagal.

UN bukan  satu-satunya faktor yang menentukan siswa lulus atau tidak lulus tapi masih ditentukan oleh hasil rapor dari semester  1 hingga 5.  Porsinya  adalah 60 %  nilai UN dan 40 % rerata nilai  raport .

Disinilah letak  masalahnya, sekolah dengan sistem ini, tidak akan berani lagi memberikan nilai  "merah" alias tidak tuntas kepada siswanya jikalau tidak ingin terganjal pada akhir tahun ketika menggabungkan nilai raport dengan nilai UN.  UN adalah ujian yang bukan hanya milik sekolah tapi adalah miliki kabupaten dan kota ( baca, pemerintah)

Kedua, adanya kunci jawaban yang beredar pada saat ujian nasional sudah menj0adi rahasia umum dikalangan siswa. Rahasia ini sudah turun temurun sejak sistem ini diberlakukan. Tahukah pembaca apa implikasinya ?  bahwa banyak siswa yang meremehkan proses pembelajaran, mereka  sudah percaya dan mengimani bahwa pada saat ujian nanti mereka akan  mendapat bantuan, dan sekolah takut mereka tidak lulus.

Semangat mereka dan rasa khawatir mereka  sudah sirna untuk  memacu diri mempersiapkan suatu ujian. Apalagi jikalau mereka tahu, bahwa  setiap guru tidak akan berani memberikan nilai tidak tuntas di raport mereka, maka sempurnalah  kerusakan pendidikan kita ini.

Saya seorang guru, saya juga menjadi orang tua siswa sama dengan para pembaca yang bukan berprofesi sebagai guru. Betapa miris hati saya, ketika anak saya yang dibangku kelas  8 menceritakan bahwa  " anak -anak kelas  9 memiliki  nilai  yang  bagus- bagus pada  UN,   tahu nggak pah...?  mereka dikasih bocoran" lho  kok kamu  tahu, darimana?.......aku pura-pura tidak tahu,....dan mengejarnya untuk menjelaskan.  dia mengatakan, "  kan, ada teman-teman saya yang diperbantukan pada saat UN itu, mereka yang tahu bagaimana para siswa itu dengan mudah mendapatkan jawaban pada soal-soal yang sulit<".Saat itu saya speechless apa yang harus saya katakan kepada anak saya, karena sayapun merasakan  hal yang sama, yaitu  menghadapi murid-murid yang  menanamkan keyakinan akan dibantu pada saat ujian.

Tapi saya terus meminta dan memberinya semangat bahwa   belajar itu bukan hanya mengejar  nilai, lulus atau tidak lulus tapi  belajar adalah  proses  membangun diri secara  utuh, baik  dalam hal teknologi, spiritual dan mental.  Karena pada saat kamu  bekerja kelak,  ilmu pengetahuan yang kamu kuasai lah yang akan menentukan karier kamu. Jangan percaya dengan  bantuan - bantuan itu, karena akan merusak  karakter dan semangat kamu. Kamu harus  mempersiapkan diri kamu, jangan  informasi teman-teman kamu merusak semangat kamu.

Hal    semacam  ini  tidak hanya saya katakan pada  anak kandung saya tapi juga  kepada  murid-murid yang  saya  ajar dan  didik ketika  ada  celetukan  dari mereka hal yang dikatakan oleh  anak saya.

Propinsi yang mengalami kegagalan siswanya yang tidak lulus paling banyak adalah propinsi  NTT. Dengan hasil yang  jeblok seperti itu, yang semoga adalah hasil yang sebenar-benarnya, kenapa mesti malu. Mereka justru mendapatkan blessing in disguise atau berkat tersembunyi,  yaitu mendapatkan intervensi dari mendiknas. Sarana dan prasarana " akan " diperhatikan, bahkan mungkin guru-gurunya akan lebih sering penataran, bukannya seperti kami ini, yang penataran satu kali dalam 5 tahun, itu juga sudah syukur. Apalagi kalau udah dianggap berhasil, ya berarti sudah tidak perlu dapat bantuan terlalu banyaklah.

Marilah kita jujur dan terbuka dengan keadaan kita yang sebenar-benarnya agar kita bisa membangun karakter siswa sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut siswa.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun