Ketika manusia mencapai banyak prestasi yang mengagumkan, khususnya kemajuan dalam bidang tekonologi dan ekonomi, terlihat bagaimana rasa puas diri yang kemudian berakhir pada keinginan untuk menjadi “allah” atas hidupnya sendiri. Agama kemudian dianggap sebagai hal yang sudah usang.
Mungkin pula situasi ini dibarengi dengan gereja yang ketika itu mulai dimasuki oleh ajaran liberal yang meragukan kebenaran Alkitab (Firman Tuhan). Dasar yang teguh digantikan dengan filsafat manusia yang kosong. Tidaklah heran kalau pada akhirnya kita bisa menyaksikan kekristenan di Eropa yang hanya tinggal MONUMENT dan bukan lagi MOVEMENT.
Meskipun situasi kekristenan di Eropa saat ini terlihat begitu sulit, Fountain juga membahas secara khusus tentang masih adanya harapan di tengah-tengah kondisi yang menyedihkan yang dialami gereja di Eropa saat ini.
Memang terlihat ada suatu paradoks yang menarik dari kekristenan di Eropa. Meskipun manusia modern mencoba melupakan Tuhan, tetapi mereka tetap saja berupaya mencari kepuasan spiritual dalam kehidupan mereka. Spiritualitas agama-agama “Timur” menjadi pilihan yang diminati banyak orang di Eropa.
Seiring dengan globalisasi, penyebaran informasi semakin cepat dan semakin luas jangkauannya. Informasi bukan hanya menjadi informasi lokal, melainkan informasi sedunia. Di satu sisi, hal ini memberikan peluang bagi agama-agama pun menjadi tawaran pilihan hal yang bisa ditemui di berbagai tempat di dunia. Sehingga bukanlah pemandangan yang mengherankan ketika melihat jalan-jalan yang ramai di Inggris dan Amsterdam ada orang bule yang menjadi mempromosikan dan menjadi pengikut Sai Baba.
Peluang ini menjadi salah satu poin utama dalam pembahasan Fountain. Dia menyerukan orang Kristen di Eropa untuk meletakkan kembali dasar Tuhan di tengah-tengah kehidupan manusia yang sekarang ini. Istilah post (post-christian, post-modern, post-communist, post-migram, dll) menyiratkan bahwa segala sesuatu yang sifatnya post itu hanyalah sementara. Ketika kerajaan Romawi runtuh di seluruh Eropa, terjadilah kekacauan dan perpecahan, sampai pada akhirnya para pemberita Injil masuk dan menceritakan kabar baik itu. Masyarakat yang dibangun ini kemudian menjadi fondasi awal dari suatu keteraturan baru, western civilization.
Bercermin dari pengalaman ini, penulis menyadari bahwa kita tidak boleh melupakan sejarah. Kita tidak boleh melupakan akar kita. Seringkali dunia modern dengan segala kemajuannya, hanya menyibukkan kita dengan dimensi materi dan fisik, sehingga dimensi rohani cenderung diabaikan. Inilah masalah dalam dunia modern kita. Di sinilah pentingnya kita dapat melihat makna dan nilai nilai rohaniah dari hal-hal yang dapat dilihat dan disentuh. Makna rohaniah ini tidak bersifat sementara, tetapi kekal.
Di tengah segala kemajuan yang dicapai manusia, penting sekali untuk teguh berpegang kepada Tuhan. Tuhan bukanlah embel-embel yang menyertai keberhasilan manusia. Tuhanlah yang memberikan keberhasilan bagi manusia. Penting sekali untuk memelihara spiritualitas yang benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H