Mohon tunggu...
Alexius Mahargono Digdoprawiro
Alexius Mahargono Digdoprawiro Mohon Tunggu... Freelancer - Alumnus Pemerintahan FISIP UNDIP angkatan 1985. Aktifis Mapala dan fotografi. Peminat Literasi, perkara perkara politik, sosial dan seni

penggiat alam bebas, fotografer, pemerhati sosial politik, penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hoaks Marak Akibat dari Kohesi Sosial yang Terkoyak

14 Juni 2018   11:27 Diperbarui: 14 Juni 2018   11:33 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepertinya akan sangat sulit mencairkan ketegangan politik dalam waktu dekat, apalagi tahun depan akan digelar Pemilu Presiden 2019.

Polarisasi politik peninggalan Pemilu Presiden 2014 yang telah merobek kohesi sosial akan terus berlanjut hingga Pemilu Presiden 2019. Sementara selagi berada pada masa pemulihan, pembelahan yang perlahan mulai merapat tersebut sudah buru-buru terkoyak lagi pada Pilkada DKI 2017, dan mungkin selanjutnya justru akan membuat luka semakin menganga.

Karena jelas kasat mata bahwa sebagian besar massa yang memilih Prabowo pada Pilpres lalu, dan "kalah" dalam eleksi, beralih memilih Anies -- Uno kemudian berhasil revans , sementara mayoritas mereka yang memilih Jokowi dan "menang", hampir semuanya eksodus memilih Ahok, dan berakhir sebagai pihak yg kalah. Demikian seterusnya yang menang harus dikalahkan, yg kalah harus menjadi menang, muter terus semakin cepat seperti gir becak yg digenjot pada jalan menurun.

Ketika politik berbicara tentang kekuasaan dan proses pencapaiannya, maka akan kecil sekali kemungkinan terjadi rujuk dan jabat tangan nasional. Karena energi yg telah dikeluarkan memang sudah sangat luar biasa, jika tidak boleh dikatakan habis-habisan. Jadi akan sangat sulit sekali berhenti hanya dengan kata maaf.

Artinya teori pemaafan Gustafson (1999) yang mengatakan; "forgiveness means deciding not to punish a perceived injustice, taking action on thet decesion, and experiencing the emosional relief that follows." -- akan sulit terbukti pada pada kasus "kalah-menang" dalam proses eleksi, terutama bagi perilaku massa pendukung di negeri ini.

Jadi saya kok merasa yakin bahwa eksplanasi apapun, bukti apapun tidak akan mampu mencairkan situasi terutama pada akar rumput untuk beranjak dari "perang dingin" setidaknya sampai tahun depan. Itulah kenapa hoax justru menjadi lebih populer, karena hoax lebih berkonten pembohongan publik, dan setiap kebohongan yang disengaja selalu terseting dengan diksi-diksi paradoksal, misalnya judul dan isi yang tidak sambung.

Hal ini akan menjadi pilihan utama, sebab hampir kebanyakan pembaca hanya berhenti pada judul, lantas buru-buru menyimpulkan tanpa menerjemahkan kontennya. Dengan demikian kebenaran sudah tidak menjadi penting untuk dikemukakan. Misinya hanya satu, menebar "racun" kebohongan agar mengalir deras di nadi massa pendukung, karena jelas tidak ada satu pihak pun yang merasa jadi pecundang. Semua merasa menang, semua merasa benar.

Jika dalam fakta sebenarnya kalah sekalipun, tetap merasa sebagai pihak yang menang, lantas buru-buru menyebar konten kebohongan dicurangi, dikriminalisasi bla bla bla... Begitulah peta elit dan voters negeri ini, kerdil tetapi merasa dewasa. Dangkal tetapi merasa bijak.

Salam dari Wlingi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun