Mohon tunggu...
Alex Martin
Alex Martin Mohon Tunggu... Administrasi - penulis

bercerita apa adanya, bukan karena ada apanya

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Politik Kartel Rusak Semangat Demokrasi

14 Agustus 2018   10:08 Diperbarui: 14 Agustus 2018   11:53 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kartel merupakan sesuatu yang formal dalam konsep ekonomi. Prinsip ini digunakan dalam ekonomi untuk mengontrol pelaku usaha maupun pesaing. Tak jarang pula kartel dalam prinsip ekonomi dijadikan alat untuk menghancurkan pesaing dan mencekik pendatang baru.

Menurut Daniel Katz dan Peter Mair, politik kartel mulai terlihat sejak tahun 1995. Dimana banyak partai bermetafora memainkan konsep ekonomi tersebut dalam kehidupan berpolitik. Perdebatan ideologi, gagasan, dan visi misi bukan lagi menjadi tolak ukur. Satu-satunya yang menjadi tolak ukur adalah kepentingan.

Dalam penelitiannya, Daniel Katz dan Peter Mair yang melihat dinamika politik kartel di eropa sangat relevan dengan kondisi politik di Indonesia saat ini. 

Kebutuhan keuangan finansial partai membuat kompromi "basbibus" (basa-basi busuk) menjadi hal lumrah. Maka wajar, jika sandainya partai merah, putih, kuning dan lainnya menang, bukan kemaslahatan masyarakat yang menjadi fokus perhatian, melainkan bagaimana membagi kepentingan yang ada.

Di fase tahapan Pilpres, kita sama-sama melihat bagaimana politik kartel dimainkan oleh kelompok koalisi yang ada. Alih-alih memprioritaskan kehendak rakyat dan membangun kepercayaan rakyat, partai koalisi yang ada malah hanya menghitung menang kalah dan untung rugi. Tidak ada perdebatan ideologis, gagasan, dan visi misi yang hendak di bangun.

Di kelompok petahana contohnya, koalisi "kalap mata" dibangun sedari awal pemerintahan Jokowi. Koalisi yang ada seakan antikritik dan menjadi tameng pemerintah. 

Pemerintahan hanya sekedar alat sekedar distribusi kekuasaan dan pos penitipan kepentingan. Maka tak heran jika Sekjend PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto sekarang uring-uringan karena di kabinet Jokowi ada menteri dari parpol yang tidak mendukung Jokowi di Pilpres 2019.

Dalam pengusungan cawapres Jokowi beberapa waktu yang lalu juga memperlihatkan bahwa kepentingan partai politik lebih dominan ketimbang perdebatan ideologi, gagasan, dan visi misi. 

Ma'ruf Amin terpilih bukan karena dilahirkan dari ruang bedah perdebatan ideologi, adu gagasan serta visi misi, melainkan dari kepentingan partai politik koalisi untuk Pemilu 2024 mendatang.

Mahfud MD adalah korban dari politik kartel petahana tersebut. Tokoh yang lahir dari dorongan arus bawah ini mesti terlempar oleh kepentingan kelompok tertentu yang memegang kekuasaan. Inilah bahaya politik kartel, orang jujur tidak lagi mempunyai tempat di jabatan politik.

Politik kartel juga menjangkiti koalisi Prabowo. Koalisi yang meminjam nama umat ini tidak lagi benar-benar memperjuangkan suara umat. Meminjam istilah politisi Demokrat Andi Arief, koalisi Prabowo hanya sebatas "500 milliar".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun