Nilainya mencapai Rp32 triliun. Anehnya, ada kredit jumbo dari BCA yang mengalir ke Salim grup sebesar Rp52 triliun.
Artinya, Salim Grup utang ke BCA sebesar Rp52 triliun.
"Patut diduga, polanya sama dengan BCA dan Mayapada. Kalau di BCA saat itu, kredit mengalir ke grup usaha Rp52 triliun, sedangkan Mayapada sekitar Rp23 triliunan," ungkapnya.
Ironisnya, lanjut Hardjuno, pemerintah menjual BCA ke Farallon dengan harga yang tak masuk akal murahnya.
Aset BCA Rp117 triliun, tapi dijual super obral 51% Â hanya Rp5 triliun. Bisa jadi pemilik lama masuk lagi ke bank tersebut.
"Siapa yang bisa menjamin, perusahaan yang kecipratan kredit jumbo itu, tidak terafiliasi dengan Mayapada. Atau kalau nanti bangkrut diambil alih pemerintah, kemudian dijual lagi, pemilik lama juga yang punya. Lewat perusahaan cangkang . Ini sangat tidak adil. Makanya kami mendukung OJK menggandeng aparat penegak hukum untuk membongkar kredit bermasalah di Bank Mayapada," beber Hardjuno.
Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pengawasan perbankan oleh OJK pada 2017-2019, Bank Mayapada termasuk 7 bank yang kesandung kredit bermasalah.
Di mana, kredit Bank Mayapada terkonsentrasi di empat grup usaha. Yakni, Hanson International (Bentjok), Intiland (HSG/Hendro Santoso Gondokusumo), Saligading Bersama (Musyanif), dan Mayapada Grup (Dato Tahir).
Besarnya kredit yang melanggar BMPK mengalir ke Hanson International sebesar Rp12,39 triliun, Intiland Rp4,74 triliun, Mayapada Group Rp3,3 triliun dan Saligading Bersama Rp3,13 triliun. Kalau ditotal angkanya Rp23,56 triliun.
Jelas ada pelanggaran BMPK, karena modal inti Bank Mayapada kala itu, sebesar Rp10,42 triliun. Aturan BMPK mematok kredit tak boleh melebihi 20 persen dari modal inti.
Maka, kredit maksimal Bank Mayapada adalah sebesar Rp2 triliun.