Saya mendapat kisah tentang dokter Tigor Silaban (1953-2021) dari dokter Mia Rumateray beberapa tahun lalu ketika jumpa di Wamena. Â Ayahanda Mia adalah seorang perawat yang selalu mengikuti ke mana saja dokter Tigor berkunjung jalan kaki ke pelbagai dusun di Wamena dan Oksibil di Pegunungan Bintang.
"Jalan kaki berhari-hari. Tra ada kendaraan to, jadi andalan kaki saja," kata Mia.
Sebagai dokter dan perawat pada tahun 1980-an itu di Papua, pace berdua ini "barang langka". Â Sampai kini pun, tenaga medis yang mau berkarya di pedalaman Papua masih langka. Segala jenis penyakit mereka tangani. Termasuk operasi darurat. Padahal dokter Tigor hanya sebagai dokter umum saja. Bukan ahli bedah.
"Soal operasi ini tra ada persiapan. Biasanya Papa dengan dokter Tigor hanya pikul obat-obat Malaria, Ispa, sesuai kondisi terbanyak di sana. Tapi suatu kali ada pasien luka. Cukup dalam. Mereka jahit saja dengan jarum dan benang untuk jahit baju," cetusnya. Kenangan yang ayahandanya ceritakan ini sangat menginspirasi Mia di kemudian hari.
Antara tahun 2017-2019 kami beberapa kali berjumpa di Depok, sebab dokter Mia sedang  menyelesaikan studi S2 di bidang Manajemen Rumah Sakit di Universitas Indonesia. Usai itu  dokter Mia kembali ke Wamena untuk menggeluti profesinya sebagai "dokter terbang" bersama Yayasan Baliem Mission Center (BMC). Mereka rutin memberikan pelayanan kesehatan ke pelosok dengan menggunakan pesawat kecil maupun helikopter.
Dalam satu-dua kesempatan, dokter Mia mengirimkan beberapa foto, antara lain saat mengevakuasi seorang ibu yang plasentanya masih menempel di dinding Rahim. Agar tali plasenta tidak masuk Kembali ke dalam, "Saya lakban di pahanya. Biar nanti dokter yang tangani di rumah sakit bisa langsung ambil Tindakan," kata dokter Mia.
Selain ibu asramanya di Jayapura ketika Mia menempuh pendidikan SMA-nya yang terus mendorongnya menjadi dokter, Mia mengaku sangat terinspirasi dari pekerjaan yang dilakukan ayahnya dan dokter Tigor.
"Saya juga terinspirasi dengan dokter Tigor dan Papa saya," kata Mia.
Dokter Tigor adalah putra arsitek Friedrich Silaban (1912-1984). Salah satu karya arsitektur Friedrich yang fenomenal adalah Masjid Istiqlal, Jakarta. Sebenarnya banyak karya Friedrich yang lain, misalnya Tugu Pembebasan Irian Barat, Gedung Bank Indonesia, Tugu Khatulistiwa, dll.
Dokter Tigor lahir tahun 1953 di Bogor dan meninggal di Papua karena terkena COVID-19.
Dan pada Rabu (7/12/2022) usai turun dari KRL Depok-Bogor, saya sengaja ambil jalur jalan kaki menuju Jalan Gedongan Sawah II, mencari kediaman Friedrich.Â
Di depan Gereja Sidang Jemaat Kristus ada Jalan Arsitek F.Silaban, sepotong jalan sepanjang 300 meter. Menyusurinya saya menemukan kediaman beliau.Â
Dua pohon durian bertumbuh tinggi di halaman rumah yang luas. Ini kali kedua saya berkunjung ke sana. Rumah besar yang sepi. Makhlum, sepuluh orang putra-putri Friedrich telah hidup berpencar.
Jika pada kunjungan pertama saya bisa masuk dan memotret hingga ruang kerja beliau, kali ini hanya bisa memotret empernya saja. Tetapi ada bel di depan pintu berwarna biru. Saya tekan beberapa kali. Berselang lima menit seseorang keluar dari dapur. Saya beruluk salam. Memperkenalkan diri.
"Oh, silahkan memotret tapi di luar saja ya. Kalau mau potret di dalam harus seijin Panogu. Dia yang bertanggung jawab atas semua karya Papa," kata Haposan Silaban (64).
Panogu yang dimaksud adalah Panugo Silaban, anak ke-7, yang mendalami bidang arsitektur seperti ayahandanya. Sementara Haposan adalah putra kelima Friedrich. Melihat tahun kelahiran mereka, berarti dokter Tigor adalah putra keempat.
"Di atas saya ada dua perempuan. Nomer satu laki-laki," kata Haposan lagi.
Ketika menulis artikel tentang Friedrich pada 2015, saya beberapa kali terkait dengan keluarga mereka. Termasuk mewawancarai Panugo Silaban. Sayang, artikel itu tidak saya temukan lagi. Entah ketlingsut di laptop atau PC mana?
"Saya pernah jumpa Pak Panogu di kantornya di Cikini beberapa tahun lalu," kata saya kepada Haposan.
"oh, begitu ya. Dia tinggal di Cinere sekarang," ujar dia.
Dari Panogu pula saya mendengarkan kisah tentang hubungan antara Friedrich dan Presiden Soekarno ketika itu. Antara lain ketika Friederich diminta Soekarno "mengecilkan" rancangan Tugu Monas, sebab dalam hitungan Soekarno terlalu besar dan menelan biaya banyak sekali. Karena Friedrich berkeras tak mau mengubahnya, akhirnya Soekarno menyuruh arsitek lain yang mengecilkan. Meskipun bentuk aslinya masih tetap sama.
Saya tak ahli soal arsitektur bangunan. Tetapi selalu senang melihat dan menelusuri gedung-gedung tua. Pada rumah keluarga Friedrich saya suka halamannya yang luas, dan bangunanya yang memanjang.  Potongan-potongan batu kali yang dipasang di dinding  sangat rapi dan presisi. Â
Saya pikir ruang tamu yang luas di depan, serta kamar-kamar yang banyak di dalam sengaja dibikin agar bisa menampung jumlah anggota keluarga mereka yang banyak.
"Kami semua sepuluh bersaudara, tetapi dua orang sudah meninggal," kata Haposan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H