Khotbah atau renungan yang dibawakan oleh Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo, selalu saya simak. Isinya ringkas dan bernas. Tak lebih dari sepuluh menit. Saya menyukai khotbah-khotbahnya sejak lama, ketika beliau masih sebagai Uskup Agung di Semarang dan saya kerap meliput ke gereja-gereja di sana.
Dari beliau pula saya mendengarkan kisah tentang relief "Burung Berkepala Dua" di Candi Mendut di Magelang, Jawa Tengah. Saya ceritakan ulang secara bebas:
Seekor burung berkepala dua. Satu kepala di atas dan yang lain di bawah. Kepala bagian atas selalu mendapatkan makanan yang enak-enak karena posisinya, sementara kepala yang bawah hanya mendapatkan sisa-sisanya.
Suatu kali kepala bagian bawah protes. Ia berkata:
"Kawan, bolehkah saya juga diberi makanan yang enak, bukan hanya sisa-saisanya saja?"
Kepala bagian atas menjawab:
"Kawan, bukankah kita ini satu tubuh. Apa yang saya makan, juga ikut kau rasakan," kata dia.
Tetapi karena bosan terus diperlakukan seperti itu, pada suatu hari kepala bagian bawah menelan buah beracun. Matilah burung berkepala dua itu!
=000=
Kisah di atas bisa kita tafsir secara berbeda-beda. Namun satu pesan kuat dapat dipetik dari sana yakni, hidup berbagi satu sama lain. Hidup tidak hanya memikirkan diri sendiri.
Jika “kepala atas” terus mengabaikan “kepala bawah”, secara sosial kita akan menjadi burung berkepala dua yang akan mati bersama-sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H