Diakui atau tidak, perayaan Natal di Indonesia, terutama di kota-kota besar telah tereduksi maknanya sekadar menjadi kegembiraan masa liburan panjang akhir tahun, ajang promosi dan pemuasan hasrat berbelanja seperti di Eropa dan Amerika. Figur sinterklas, pohon natal, lagu-lagu natal tampak lebih meriah ketimbang yang dirayakan kelahirannya.
"Sinterklas sekilas kelihatan lebih afdol dan layak dijadikan simbol meriahnya Natal ketimbang figur Yesus. Sebab, dalam soal Sinterklas, memang tidak dibutuhkan laku iman," kata Trisno Sutanto, pengamat budaya dan penulis, kepada saya.
 "Saya khawatir seluruh kompleksitas cerita Injil tentang kelahiran Yesus itu hilang ketika masa Natal direduksi menjadi sekadar figur sinterklas, undangan belanja, dan masa libur panjang di akhir tahun. Dan itu yang sedang terjadi pada kita saat ini," kata Trisno lagi.
Yang lebih ironis adalah, kata dia, Sinterklas merupakan distorsi dan pendangkalan makna Natal. Sebab dalam figur Sinterklas, seluruh pewartaan Natal kehilangan arti dan kekuatannya sebagai warta tentang solidaritas radikal Allah pada kehidupan manusiawi yang serba rentan.
Perlu diakui bahwa banyak gereja bukan saja tidak menaruh perhatian terhadap makna sosial Natal, tetapi juga tidak memiliki pemahaman yang lengkap tentang makna Natal. Mereka tidak paham bahwa Natal memiliki makna solidaritas kemanusiaan.
Hal ini terpengaruh oleh pemahaman teologi gereja yang berbeda-beda. Yang hanya menekankan keselamatan "yang kelak". Keselamatan di seberang sana. Yang bisa membuat mata jemaat tertutup terhadap kenyataan sosial yang ada di sekitarnya.
Hal itu tampak dalam ritual ibadah di tempat yang serba mewah dan ritualistik yang semarak meriah bahkan tampak berlebihan. Sebuah gereja bangga jika bisa mengadakan Natal di sebuah stadion besar di Jakarta dan menyebut angka 150 ribu orang yang hadir. Dan untuk bisa mengumpulkan orang sebanyak itu acara Natal perlu diiklankan melalui media massa.
Padahal kalau mau, dana yang dipakai untuk acara-acara ritual dan seremonial yang mewah itu bisa dipakai untuk bersolidaritas kepada sesama yang membutuhkan. Solidaritas inilah yang menjadi inti utama dari Natal, yakni keberpihakan Allah kepada kemanusiaan.
Dalam banyak Kitab pun, Allah melalui para nabinya telah mengecam sikap ibadah yang sangat bersifat ritualistik tetapi melupakan makna sosial dari karya penyelamatan Allah itu. Misalnya, Nabi Amos yang mengecam ibadah Israel yang sangat ritualistik, tetapi mengabaikan solidaritas kemanusiaan dan tanggung jawab sosial. Demikianpun Kitab Yesaya mencatat hal yang sama. Tuhan Yesus juga mengecam sikap ibadah para pemimpin agama Yahudi yang mengabaikan hal-hal yang utama dalam Taurat seperti ditulis penginjil Matius.
Natal adalah penantian penuh harap. Sebab itu dalam Gereja Katolik dan Gereja Protestan yang berteologi "arus utama" ada empat minggu masa penantian yang disebut Adven. Dan selama masa itu pesan-pesan tentang jawaban radikal Allah yang menerima kerentanan hidup manusiawi sebagai sarana bagi kemuliaan-Nya disampaikan.
Selamat memasuki Hari Minggu Adven II.