Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Gereja Anglikan, Bukan Katolik Bukan Protestan

4 Desember 2022   07:16 Diperbarui: 4 Desember 2022   07:19 3090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Papan nama GAI (foto:Lex)

Kalau saja tak ada papan nama berwarna biru di depan, barangkali orang tak tahu kalau yang berada di balik gundukan  tanah berpagar tinggi  dan rindang pepohonan di Jalan Arief Rahman Hakim, di seberang Tugu Tani, Jakarta Pusat, adalah sebuah gereja. 

Saya menyebut  nama seseorang saat tiba di sana. Satpam yang bertugas di depan menunjuk bangunan dua tingkat bercat putih.

"Lurus, terus belok ke kiri," kata dia.

Taman Rindang

Jalannya beralas  kerakal, diteduhi pohon-pohon mangga, rambutan, jambu air, beringin, kelapa dan berjenis tanaman lainnya. Sebaris kamboja berbunga ungu sedang mekar di ujung jalan. 

Tetapi bagian lain dari jalan itu dilapisi semen agar tak becek saat  hujan. Saya seperti masuk ke hutan kecil, dengan cericit burung yang riuh, tetapi ini di tengah Jakarta yang sumpek dan berisik.

Di depan pintu datang menyambut  Soleman Ndappa Ayi, lelaki paruh baya berkulit gelap, memakai kemeja bergaris putih-coklat.  Tetapi desis huruf "s" yang ia tarik panjang  pada dialeknya ketika berbicara begitu lekat di telinga saya.

"Dari Sumba?" saya menebak saja.

Soleman tertawa lebar. "Saya orang Anakalang. Saya administrator di sini, di Kantor Nasional Gereja Anglikan Indonesia (GAI)," jelasnya. Soleman merangkul pundak saya.

Anakalang berada di bagian tengah Pulau Sumba dan masuk ke dalam Kabupaten Sumba Tengah. Mayoritas penduduknya memeluk Kristen Protestan. 

Banyak pendeta  dari Sinode Gereja Kristen Sumba berasal dari sini. Tetapi ini kali pertama saya berjumpa orang Sumba yang menjadi anggota Gereja Anglikan.

Pada lantai dua kantor GAI saya bertemu Pastor Alexander Daniel Rumondor. Usianya menjelang 50 tahun, keturunan Manado. Wajahnya tampak lebih muda dari usianya. Nama ini yang saya sebutkan kepada satpam di depan tadi.

"Ayah saya seorang pendeta GPIB. Karena itu kami sering berpindah-pindah daerah mengikuti tugas ayah," ujar Daniel yang lahir di Cimahi Jawa Barat tetapi menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja di Medan dan Surabaya, serta menikah dan menetap di Jakarta.

"Saya masuk Gereja Anglikan setelah menikah," ujarnya lagi. Pastor Daniel merupakan salah satu dari tiga pastor di Gereja Anglikan  Indonesia. 

Meskipun Gereja Anglikan sudah berada di Batavia sejak  1829, namun GAI baru seumur jagung usianya. Pendirian jemaat GAI, kata Pastor Daniel, didasari oleh keinginan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada anggota jemaat Anglikan yang asli Indonesia.

"Kami ingin jemaat lokal di Indonesia bisa berkembang. Keinginan sudah ada sejak 1993 tetapi baru diresmikan pada 1998," jelas pastor Daniel.

Papan nama GAI (foto:Lex)
Papan nama GAI (foto:Lex)

Menurut Daniel, Gereja Anglikan sudah lama ada di Jakarta, tetapi lebih berfokus melayani kaum ekspatriat. "Jemaat Indonesia juga dilayani tetapi mereka lebih fokus kepada  kaum ekspatriat di Jakarta. 

Selain itu kami ingin mengembangkan misi Anglikan di sini. Kaum ekspatriat kan datang dan pergi. Begitu tugas selesai,  mereka pulang ke negaranya masing-masing," jelas Pastor Daniel.

Setelah resmi berdiri pada 1998, saat ini  terdapat 500 jemaat GAI di seluruh Indonesia, antara lain di Batam, Medan, Jakarta, Surabaya, Bandung, Tarakan, Nunukan, Pontianak dan Ambon. Jemaat terbesar berada di Tarakan  dan Nunukan.

 Sistem Episkopal

Gereja Anglikan menganut sistem episkopal, karena itu bersifat hierarkis. Pemimpin tertingginya adalah uskup. Sistem ini umumnya dipakai juga oleh gereja-gereja Ortodoks dan  Katolik.

Meskipun Uskup Agung Canterbury Inggris diakui sebagai pemimpin tertinggi, namun ia tidak memiliki otoritas untuk mengatur Gereja Anglikan di seluruh dunia. Artinya, setiap gereja nasional atau regional memiliki otonomi penuh untuk mengatur diri sendiri. Berbeda dengan Gereja Katolik, Paus yang juga uskup Roma, memiliki otoritas atas umat Katolik di seluruh dunia.

"Karena itu kami memakai istilah persekutuan penuh. Artinya ada kesepakatan bersama tentang doktrin dan  sakramen, tetapi otonom dalam cara melaksanakannya asalkan tidak menyimpang dari Firman Tuhan," terang Pastor Daniel.

 Misalnya, kata dia, mereka memiliki doktrin tentang  berbicara kepada jemaat dalam bahasa yang dimengerti umat. Bunyinya; Buruk sekali menurut Firman Allah dan menurut kebiasaan gereja purbakala untuk melakukan doa umum di gereja, atau melayani sakramen, di dalam bahasa yang tidak dimengerti kaum awam.

"Ini berarti kontekstualisasi. Jadi di Indonesia ya pakai bahasa Indonesia," ujarnya.

Dalam Gereja Anglikan dikenal istilah "high chruch" dan "low chruch" pada peribadatannya. 

"High chruch" berarti ibadah yang liturginya ketat, sama seperti misa dalam Gereja Katolik atau ibadat dalam Gereja Protestan beraliran mainstream. Sementara "low chruch" lebih mirip ibadah pada gereja-gereja beraliran Injili atau Karismatik. Boleh diiringi band, bisa bertepuk tangan dengan lagu-lagu pop rohani.

Ahli Sejarah Gereja dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi  (STFT) Jakarta Prof. Dr. Jan Aritonang mengatakan, istilah di atas mengacu pada fraksi-fraksi di dalam Gereja Anglikan. 

Para pengikut fraksi "high chruch" memberi tekanan kuat pada pewarisan jabatan rasuli, pelayanan rohani, sakramen dan perwujudan lahiriah dari ibadah. Karena itu fraksi ini cenderung membina hubungan baik dengan Gereja Katolik dan  Gereja Ortodoks Timur.

Sebaliknya fraksi "low chruch" berciri Injili, menekankan kesinambungan ajaran gereja mula-mula dan sangat menekankan unsur Protestan dalam Anglikanisme.  Karena itu mereka tidak terlalu mengindahkan sakramen dan tidak suka hal-hal simbolis dalam ibadah.

Di antara keduanya muncul fraksi "middle Chruch" yang banyak meneruskan tradisi yang dibangun sejak zaman Elizabeth I yang menyatakan bahwa Anglikan adalah gabungan terbaik dari  Katolik Roma maupun Protestan.

Samuel menjelaskan tentang beberapa prasasti di GAI (Foto:Lex)
Samuel menjelaskan tentang beberapa prasasti di GAI (Foto:Lex)

 "Saya pikir mayoritas warga Anglikan merupakan pengikut fraksi ini," kata Aritonang.

"Kami sering dicap separuh Katolik separuh Protestan. Padahal kami ini bukan Katolik juga bukan Protestan. Kami mengambil yang terbaik dari Katolik dan Protestan, jadilah Anglikan," kata Pastor Daniel sembari tertawa.

 Buku Doa

Gereja Anglikan berpisah dari gereja Katolik Roma pada tahun 1534 saat Raja Henry VIII memerintah. Tetapi ia tidak melalukan perubahan yang drastis pada doktrin dan tata ibadah gereja. 

Raja masih berkiblat pada Gereja Katolik. Baru saat Raja Edward VI, putra Henry VIII dari istri ketiganya (Jane Seymour) berkuasa,  reformasi dilakukan.

Raja Edward VI sesungguhnya baru berusia 9 tahun saat naik tahta. Tetapi ada Thomas Cranmer, Uskup Agung Centerbury, yang menjadi salah satu anggota Wali Raja. 

Cranmer dengan bantuan Nicholas Ridley dan Pendeta Hugh Latimer benar-benar melakukan reformasi. Gambar, ikon-ikon dan patung dari gereja dilepas semuanya. Mereka juga mengijinkan kaum rohaniwannya menikah.

Cranmer membentuk komite untuk menciptakan sebuah tata ibadah yang mampu mengakomodasi kalangan Katolik Roma dan Protestan. 

Terbitlah Buku Doa (Book of Common Prayer) yang mengadopsi liturgi Katolik Roma, dengan membuang bagian-bagian yang dirasa tidak sesuai dengan ajaran Protestan. Tahun 1549, Parlemen Inggris menyetujui Undang-Undang Keseragaman, sehingga Buku Doa menjadi tata ibadah resmi gereja Anglikan.

Dalam perkembangannya, ajaran Protestan  semakin kuat di Inggris. Pada tahun 1552 Buku Doa pertama masih dirasakan kurang sesuai dengan ajaran Protestan. Maka di tahun yang sama, diterbitkanlah Buku Doa kedua, yang mencakup lebih banyak lagi perbaikan.

"Seluruh doktrin dan tata aturan Gereja Anglikan ada di sini. Dengan membaca buku ini Anda akan tahu semuanya tentang kami," terang Pastor Daniel. Ia mengangsurkan ke hadapan saya sebuah buku bersampul tebal, berwarna hitam. Isinya dalam dua bahasa; Indonesia dan Inggris.

"39 Artikel"

Gereja Anglikan mempunyai 39 doktrin yang mengatur soal keyakinan hingga cara hidup umat. Dari tentang pembaptisan hingga misi.  Tentang topik-topik  khotbah hingga pemberian sakramen.

Tentang sakramen misalnya, Gereja Anglikan mengenal dua sakramen "yang Kristus perintahkan di dalam Injil" yakni  Pembaptisan dan Perjamuan Kudus. Kedua sakramen ini disebut Sakramen Injil. 

Sementara lima sakramen lainnya tidak dianggap sebagai Sakramen Injil meskipun juga dipakai: Konfirmasi (sidi-protestan, krisma-katolik), penebusan dosa (penance), pentahbisan, pernikahan, dan perminyakan orang yang sebelum meninggal (extreme unction).

"Semua sakramen ini bisa diberikan oleh pastor seperti saya kecuali Perjamuan Kudus. Yang berhak memimpin Perjamuan Kudus hanya bishop atau arcbishop," kata Daniel.

Gereja Kuno

Menurut ahli tentang bangunan tua di Jakarta, Adolf Heuken,SJ,  gedung gereja Anglikan di dekat Tugu Tani didirikan tahun 1829. 

Mula-mula pada tahun 1821 oleh J. Slater, seorang misionaris Baptis mendirikan gereja dari kayu yang segera habis dimakan habis oleh rayap. Ia membeli tanah beserta sebuah rumah bambu di atasnya dengan harga delapan ratus dollar Spanyol.

Gereja bambu itu berada di tengah-tengah kampung Tionghoa dan Melayu. Rumah pendeta dibakar bersama banyak buku Injil dalam bahasa Tionghoa dan milik pendeta dirampok dua kali. Maka, Pendeta Slater meninggalkan Batavia.

Tetapi pada tahun 1822 London Missionary Society  (LMS) Inggris mengirim misionaris Walter Henry Medhurst (1776-1857) ke Batavia untuk meneruskan usaha J. Slater. 

Medhurst mulai mengadakan ibadat dalam bahasa Inggris dan mendirikan sekolah dan asrama yang pertama untuk anak cacat di Jakarta, lalu membangun gereja dan kediaman pendeta dari batu pada 1829. Kedua bangunan ini masih ada sampai sekarang.

Ruang ibadah di GAI yang bisa menampung 200-an anggota jemaat (Foto:Lex) 
Ruang ibadah di GAI yang bisa menampung 200-an anggota jemaat (Foto:Lex) 

LMS semula berencana mengutus penginjilnya ke Tiongkok. Tetapi pada awal abad ke-19 negeri itu masih tertutup bagi orang asing. 

Maka dibidiklah lokasi-lokasi pemukiman imigran Cina di Asia Tenggara, dengan harapan bahwa bila mereka berhasil diinjili, mereka akan membawa pulang dan menyebarkan iman kristianinya itu ke negeri leluhurnya. Waktu itu banyak perantau Tionghoa yang pulang kampung menjelang usia senja.

Medhurst berlatarbelakang Gereja Presbyterian, salah satu gereja di  Inggris yang masuk kategori Non-konformis. Di Batavia ia bekerjasama dengan orang-orang Inggris yang sudah ada sebelumnya dari latarbelakang Anglikcan maupun Non-konformis. 

Jadi bisa dikatakan bahwa golongan Non-konformis berperan penting dalam pembentukan persekutuan Kristen Inggris di Batavia yang kelak menjadi jemaat Anglikan hingga saat ini.

Sumber Bacaan:

Sejarah Gereja-Gereja Tua di Jakarta (Adolf Heuken, SJ)

Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Prof Jan Aritonang)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun