Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Tonggak Sejarah dan Peradaban dari Ende Flores

1 Desember 2022   19:17 Diperbarui: 1 Desember 2022   19:28 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis di depan Rumah Pembuangan Bung Karno di Ende (dokpri)

Ketika Pater Alex Beding, SVD mendirikan Penerbit Nusa Indah pada April 1970, Percetakan Arnoldus Ende menggandeng "teman" baru. 

Maka dari keduanya dicetak dan diterbitkanlah antara lain Majalah Kunang-Kunang, Mingguan DIAN dan berbagai buku teks liturgi serta buku-buku filsafat dan teologi. Untuk Kawasan Indonesia timur, Penerbit Nusa Indah punya nama baik, sebab kemudian  ikut menerbitkan buku-buku tentang pertanian, sastra, bahasa, novel dan kamus. Beberapa karya awal sastrawan Gerson Poyk (1932-2017) diterbitkan oleh Nusa Indah.

Penulis bersama Bruder Yakobus, SVD (Dokpri)
Penulis bersama Bruder Yakobus, SVD (Dokpri)

Habis ngobrol dengan Bruder Yakobus, kami menuju rumah pembuangan Bung Karno. Masih jam buka. Beberapa pengunjung tampak di dalamnya. Rumah kecil ini memiliki beberapa kamar tidur, yang antara lain memajang dipan Bung Karno. Boleh dilihat, tapi tak boleh disentuh. Boleh difoto-foto juga. Antara lain dua dipan yang berdampingan tempat tidur mertua Bung Karno, Ibu Amsi,  dan anak angkat Ratna Djuami.

Pada halaman belakangnya ada sebuah sumur tua. Air dari sumur ini yang dipakai Soekarno dan keluarganya untuk memasak, mandi dan mencuci. Karena dekat pantai saya pikir airnya asin. Saya menurunkan ember dan menimba air dari dalam sumur. Saya cicipi, ternyata air tawar. Dan jernih.

Sumur air tawar di belakang Rumah Pembuangan Bung Karno (Dokpri)
Sumur air tawar di belakang Rumah Pembuangan Bung Karno (Dokpri)

Mungkin yang menjadi catatan adalah tarif masuknya. Sebaiknya ditetapkan saja, bukan "seikhlasnya' dari pengunjung. Misalnya, lima ribu rupiah per orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun