Setelah "belanja" bahan tulisan di Maumere, Kabupaten Sikka, Flores, NTT, pada Agustus 2021, saya menuju Ende di tengah pulau Flores, sebab akan melanjutkan perjalanan ke Maumbawa di Mauponggo, di pesisir selatan Kabupaten Ngada.
Adik perempuan saya menikah dengan orang dari sini, dari desa di pesisir pantai ini, tetapi mereka berdua mengabdi sebagai guru di Sumba. Saya pikir, kapan lagi bisa sampai ke kampung mereka, mumpung saya sedang berada di Flores. Jadi saya naik travel Ende-Maumbawa, dan menyaksikan sendiri bagaimana anak-anak muda berusia 20-an tahun memegang setir dengan suara musik yang keras sembari menerima telepon.
Tikungan tajam kadang "diambil" pakai sikut. Setir diputar pakai siku tangan sembari halo...halo...Padahal di sana banyak tikungan tajam, dan begitu salah ambil jalan, pasti berakhir dalam  jurang di sisi jalan. Bagusnya adalah hampir semua mobil travel yang dipakai-dari jenis APV-sudah dipangkas peer-nya sehingga landai dan membuatnya stabil di tikungan. Dalam perjalanan Ende-Maumbawa dan sebaliknya, saya banyak berdoa dalam hati. Semoga tidak terjadi apa-apa.
 Saya menginap di Ende di rumah adik sepupu yang menjadi dosen di Universitas Flores. Ketika berada di Ende itulah saya ingin melihat sendiri dua bangunan yang turut membentuk sejarah dan peradaban di NTT. Pertama, Percetakan Arnoldus Ende di Jalan Katedral 5 persis di belakang Gereja Katolik Paroki Kristus Raja Katedral Ende.Â
Dan kedua adalah rumah pembuangan Bung Karno di Jalan  Perwira, Kotaraja, Ende. Kedua tempat ini mudah ditemukan, sebab telah menjadi "identitas" kota Ende.
Ketika sedang membidikkan kamera untuk mengambil beberapa gambar, saya masuk ke dalam toko buku dan minta ijin apakah diperbolehkan masuk ke dalam untuk melihat mesin-mesin cetak mereka? Sebab saya penasaran mesin cetak seperti apa yang dipakai Ketika percetakan ini didirikan oleh para pastor dari Serikat Sabda Allah (SVD) pada 1926?
Saya beruntung ketemu Bruder Yakobus Pajo, SVD, Direktur Percetakan. Oleh beliau, bahkan saya diperbolehkan mengambil gambar apa saja di dalam gedung percetakan. "Tak ada yang rahasia, kecuali misteri Allah sendiri," ujarnya sembari tertawa. Tentu saja Bruder Yakobus hanya bercanda.
Bruder bahkan mengantar saya berkeliling dan menceritakan tentang mesin-mesin di sana. Secara umum mesin bikinan Jerman sudah dimakan usia, meskipun masih tetap bisa dipakai. Sekarang yang diandalkan adalah mesin-mesin bikinan Jepang dan China.
 "Barang cetakan berupa buku, majalah dan lain-lain bisa pakai mesin Jerman dan Jepang. Sementara kalau baliho kami pakai mesin cetak dari China," ujarnya.
 Selama masa pandemi COVID-19, jelas dia, mesin-mesin di percetakan mereka tak berhenti berputar. Berarti tak ada karyawan yang mesti diberhentikan.Meskipun masuknya harus bergilir mengikuti peraturan pemerintah.
"Kami tak pernah sepi job," kata Bruder Yakobus.