Setiba di Naibonat, di Kupang timur, Kabupaten Kupang, NTT kami menanyakan alamat Fransisco Ximenez (66). Om Sico, demikian ia disapa, adalah ketua pengungsi eks warga Timor-Timur yang membawa serta sekitar 1.670 kepala keluarga mengungsi ke Timor Barat setelah jajak pendapat yang berakhir rusuh tahun 1999 itu.
Anak-anak muda yang berdiri di pinggir jalan menunjuk rumahnya. Tetapi berselang beberapa menit, Fransisco lewat naik motor. Ia hendak ke sawah dengan sabit dan tali di pinggang. Anak-anak muda ini berteriak, "Om Sico, ada tamu dari Jakarta yang cari," seru mereka.
Berhenti, ia menjabat erat tangan kami. Tersenyum. "Saya  merasa terhormat adi dorang (adik berdua) datang khusus mau ketemu saya. Saya minggu lalu baru dari Jakarta," ujarnya. Fransisco ke Jakarta saat tampil dalam sebuah acara televisi.
Tapi orang bisa salah menafsir Om Sico dari penampilannya. Kulitnya hitam. Badannya gempal. Brewok dibiarkan tumbuh liar di wajahnya. Kantong mata yang tebal akibat kurang tidur membuat penampilannya  persis preman terminal. Sangar.
"Kalau orang yang belum kenal mereka pikir saya ini preman benar, ha-ha-ha," Fransisco yang lahir di Bagia, Baucau,  4 Juli 1955 itu  terbahak.
Tidak Mengambil Kesempatan
Rumah Fransisco beratap seng.Dindingnya dari pelepah kelapa yang dirangkai. Lantainya semen kasar yang sudah  ditambal pada banyak bagian. Beberapa kursi plastik merubung dua buah meja di teras rumah. Semua sudah kusam dimakan usia.
Sebagai ketua pengungsi dan tokoh yang dikenal luas di Naibonat dan Kupang, rumah Fransisco terlampau sederhana. Apalagi ia pernah bekerjasama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga internasional seperti The United Nations Development Programme (UNDP) Â dalam rangka penanganan pengungsi eks Timor-Timur yang melibatkan dalam programnya bermilyar-milyar rupiah uang. Ada kesempatan untuk membangun rumah yang lebih permanen. Tetapi Fransisco tidak mengambil kesempatan itu.
"Saya tidak sampai hati. Saya punya rumah masih layak, sementara ada yang tinggal di penampungan. Jadi mereka lebih prioritas. Kalau rumah mereka sudah selesai dibangun, baru saya," ujarnya.
Barangkali karena bekerja tanpa pamrih inilah Fransisco sangat dipercaya oleh pemerintah dan lembaga-lembaga donatur dari dalam dan luar negeri. Â Bantuan seperti wajib lewat tangannya. "Setiap penyumbang bilang begini; Kalau tidak lewat Om Sico kami tidak mau," ujarnya meniru omongan mereka.
"Saya ketua pengungsi di sini. Satu rupiah saja saya makan, habis sudah kepercayaan orang kepada saya," kata dia lagi.
Berlaku Adil
Sebagai orang yang dituakan, Om Sico mesti berlaku adil. Ia mendatangi satu per satu keluarga pengungsi untuk tahu kondisi mereka. Ia hafal setiap rumah dihuni berapa kepala keluarga. "Ada satu rumah di sini yang dihuni 4 kk. Ada 16 orang semua di dalamnya. Jadi saya khawatir kalau pas makan siang ada yang dilupakan, ha-ha-ha," ia kembali terbahak.
Setiap bantuan yang datang tidak sekadar disalurkan. Ia turun sendiri untuk memastikan apakah bantuan sampai kepada keluarga yang benar-benar membutuhkan. Tak jarang ia mesti bersitegang dengan sesama pengungsi.
"Misalnya beberapa tahun lalu ada pembangunan 100 unit rumah dari pemerintah. Siapa yang harus saya prioritaskan? Sementara kami ada 1.600 kk. Jadi saya harus pilih yang benar-benar membutuhkan seperti para janda atau yang sudah diusir pemilik rumah tempat mereka tinggal sementara. Memang kerja sosial seperti ini harus tebal telinga. Apa yang kita lakukan selalu dikritik orang. Tetapi telinga saya sudah kebal. Mungkin juga karena sudah tua jadi kurang dengar apa omongan mereka," ia berseloroh, lalu tergelak.
Lain waktu ada bantuan sapi dari presiden untuk keluarga berekonomi lemah. Jumlahnya 60 ekor. Dilema bagi Fransisco. Kalau tidak diterima, mereka tak mendapatkan apa-apa. Tapi kalau diterima ia pasti jadi bahan omongan. Akhirnya Fransisco membuat aturan. Anak pertama dari semua sapi itu harus digulirkan lagi untuk keluarga yang lain. Begitu seterusnya.
"Jadi sekarang kami sudah punya 123 induk sapi. Kalau masing-masing beranak lagi sudah ada 246 ekor," ujarnya.
Seorang pemimpin kata Fransisco harus adil sejak dalam pikirannya. "Pokoknya tidak boleh oleng kiri atau kanan. Lurus saja. Apa nanti kata orang, terserah mereka saja," prinsipnya.
Penyambung Lidah
Apakah Fransisco diangkat sebagai pemimpin oleh para pengungsi? Â Secara formal tidak. Tetapi sejak mereka berusaha keluar dari Timor-Timur yang sedang bergejolak, Fransisco sudah berdiri paling depan.
"Beruntung karena saya tentara. Jadi banyak kenalan," kata dia. Terjadi begitu saja, dan setelah peristiwa itu Fransisco masih menjadi pemimpin para pengungsi.
Fransisco selalu menyebut posisinya sebagai penyambung lidah pengungsi. Komentarnya, "Kalau para pengungsi yang telepon ke dinas soal bantuan pasti tidak dilayani. Tetapi kalau saya yang telepon mereka mesti angkat dan bilang 'apa kabar Om Sico'.Itu karena mereka kenal dan percaya sama saya," ucapnya.
"Sebenarnya saya tidak suka jabatan-jabatan itu, sebab yang utama adalah mari kita kerja. Pas ada pesta, saya diangkat jadi ketua panitia. Pas pemilu, saya ketua PPS di sini, kemudian ketua KPPS, pergi pidato sana-sini. Saya juga sudah pikir kapan ini orang-orang bosan dengar saya bicara. Tetapi sampai sekarang mereka masih belum bosan, hahaha," ia kembali tergelak.
Fransisco memahami filosofi lilin. Menurutnya, kalau lilin masih bisa dinyalakan, meskipun tinggal sepotong, orang masih tetap membakarnya  sampai benar-benar meleleh dan habis.
"Saya barangkali masih lilin yang sepotong begini (menunjukkan telunjuknya), Â jadi masih terus dibakar ," kata dia.
Fransisco mewujudkan arti pemimpin seperti dikatakan Yesus dalam Alkitab. Barangsiapa ingin menjadi yang terbesar, hendaklah ia menjadi pelayan. Hal ini ia buktikan dengan kondisi rumahnya. Sampai kenalannya selalu komentar, 'Om Sico itu bodoh. Tidak mau ambil kesempatan'.
"Tetapi kalau saya mau ambil kesempatan, bagaimana dengan yang kondisi mereka lebih susah dari saya? Saya tahu bahwa ada begitu banyak bantuan uang dan bahan bangunan yang disalurkan lewat saya. Kalau saya mau bermain saja, rumah saya sudah megah sekali. Tetapi saya tidak boleh bertindak lebih dari apa yang sudah menjadi fungsi saya," kata dia.
Menurut Fransisco, dia ini hanya ibarat pipa. Fungsi pipa adalah menyalurkan air. Tujuan air yang sebenarnya bukan pada dirinya, tetapi pada mereka yang sedang kehausan.
"Saya hanya yakin tangan Tuhan tidak terlampau pendek untuk memberi saya rejeki. Nyatanya semua anak saya bisa sampai perguruan tinggi walaupun pensiun saya hanya Rp 500 ribu. Belum lagi kesehatan yang diberikan. Saya hampir tidak pernah sakit kecuali flu dan pilek. Coba, apakah ini bukan anugerah luar yang biasa bagi saya dan keluarga?" ujarnya.
Ada dua hal pokok yang sedang menjadi bebannya saat ini yakni, perumahan yang layak bagi seluruh pengungsi Timor-Timur di Naibonat, dan penerimaan masyarakat setempat terhadap mereka. Soalnya, kata dia, sudah mulai ada gesekan-gesekan dengan penduduk setempat.
Lalu ia berujar lagi, "Saya tidak punya apa-apa. Yang saya punya hanya waktu. Dan waktu inilah yang saya pakai untuk mendekatkan yang punya dengan yang tidak punya. Â Jangan tunggu kita kaya dulu baru bantu orang. Kalau tunggu kita jabat presiden dulu baru bantu orang, saya kira itu mustahil. Â Tetapi kalau kita bisa bantu orang dengan apa yang kita miliki, saya pikir nilainya di mata Tuhan akan sangat besar," kata Fransisco.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI