Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Air dari Sungai-sungai Bawah Tanah di Bendungan Waikelo Sawah

28 November 2022   09:41 Diperbarui: 28 November 2022   09:53 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Habis hujan di Waikabubak, ibukota Kabupaten Sumba Barat. Cuaca sangat sejuk, 23 derajat Celsius. Sucipto Hadi (72) atau biasa kami sapa Pakde Cipto, induk semang kami, suka bercerita. Ia salah satu saksi sejarah pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan bendungan  di pulau Sumba bagian barat, yang mulai dihelat kala itu. Masih dalam masa pemerintahan Orde Baru.

"Saya kerja ikut orang sejak tahun 1962. Tetapi kemudian menjadi Pimpro dan Pemborong dari akhir tahun 1970 hingga awal tahun 2000," jelasnya.

Pakde Cipto paling hafal kawasan Kodi di bagian barat pulau Sumba. Karena ia pernah menjadi pengawas pembangunan untuk semua gedung SD di sana, sejak dari Kodi Bokol hingga Kodi Balaghar di sebelah sungai Bondokodi. Jumlahnya mencapai 20 sekolah. Sedikit-sedikit ia bisa berbahasa Kodi.

"Aih, orang Kodi kalau menghargai tamu luar biasa. Mereka tahu saya Muslim, jadi ayam atau kambing yang disediakan kepala sekolah atau kepala desa harus saya yang sembelih. Pokoknya kalau ke arah sana saya tidak pernah kelaparan," kata dia ketika kami jumpa pertama,  tengah Januari 2022  lalu.

Mendengarnya menyebut hal di atas, telinga saya sedikit "berdiri". Bangga. Belakangan Pakde Cipto baru tahu kalau saya "made in" Kodi.

Sehabis makan malam biasanya kami ngobrol rupa-rupa hal di teras rumah. Suatu ketika topik obrolan sampai pada nama Bupati Dominggus Pandango yang memerintah Kabupaten Sumba Barat pada periode 1978-1984. Pas waktu beliau memerintah itulah, kata dia, pada tahun anggaran 1981/1982, Bendungan Waikelo Sawah dibangun.

Pakde Cipto menjadi penanggungjawab proyek. Sebagai pimpro. Pemborongnya orang Bali, yakni salah satu tokoh pendiri Waskita Karya, perusahaan plat merah di bidang konstruksi.

"Sebagian besar tukang saya ambil dari Jawa karena lebih terampil. Sedikit saja orang Sumba," kata dia. Sekitar 150 tukang dikerahkan untuk membangun bendungan itu.

Ia ingat anggaran untuk membangun bendungan pertama di Pulau Sumba itu sebesar Rp 220 juta. Semen masih seharga 300 rupiah per sak kala itu. Tetapi harus didatangkan dari Surabaya dengan kapal laut. Pasir dan batu sudah disiapkan oleh alam Sumba.

"Waktu itu gaji pengerja Rp 600 per orang. Dibayarkan setiap hari Sabtu," kata dia.

Sebagai Pimpro ia sangat detail. Ada catatan harian yang dibuat, yang dipecah-pecah dari perencanaan secara umum.

"Misalnya, saya harus mencatat satu orang tukang bisa mengangkut pasir berapa kilo setiap hari. Ada jumlah perkiraaannya. Ada jumlah riilnya. Karena harus melewati sawah orang yang berlumpur. Jadi lambat kalau jalan," jelasnya. Demikian pula bagian-bagian yang lain.  Gabungan hal yang kecil-kecil ini, kata dia,  yang akan menentukan rencana esok hari.

Bagian ini yang mestinya tidak boleh direnangi karena arus bawah yang deras (Sumber: Tripadvisor.co.id) 
Bagian ini yang mestinya tidak boleh direnangi karena arus bawah yang deras (Sumber: Tripadvisor.co.id) 

 Bagian paling sulit menurut dia adalah membangun bantalan bendungan. Sebab air terus mengalir dari dalam gua. Tak henti-hentinya. Dan sangat deras.

"Tapi kita pakai akal to. Saya siapkan delapan pompa air dari yang ukuran besar sampai kecil.  Juga ratusan karung pasir. Jadi kami sekat setengahnya, sementara air dialirkan di separuh sungai. Kalau sudah kering baru di sisi yang lain," jelas dia.

Namun sebatang pohon rimbun yang tumbuh di tengah sungai menjadi kendala. Sebab pohon itu berada pas pada bentang bantalan. Usianya sudah ratusan tahun. Pohon itu dianggap pemali atau dikeramatkan oleh penganut Marapu dari Suku Loli. Maka tak bisa ditebang sembarangan. Mesti pakai acara adat. Pakde Cipto taat.

"Saya beli kerbau jantan seharga Rp 150 ribu, dan dua ekor babi bertaring yang masing-masing dipikul empat orang. Itu yang disembelih ketika Rato Marapu berdoa untuk minta ijin ditebang kepada Marapu penunggunya. Aih, pesta ramai sekali itu. Pak Pandango juga hadir," kenang dia.

Ia masih ingat, Bupati Pandango hampir setiap minggu mengunjungi mereka di proyek dengan membawa buah tangan. Jarak antara ibukota kabupaten, Waikabubak hanya 12 kilometer dari Waikelo Sawah itu.

"Sering beliau bawa ikan kering satu karung seberat 50 kilo. Trus rokok berslop-slop," ujarnya.

 Sembilan bulan proyek pembangunan bendungan berlangsung. Tahun 1983 ia diresmikan.

 Waikelo Sawah kini menjadi salah satu obyek wisata alam air terjun di Desa Tema Tana, Kecamatan Wewewa Timur, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD). Air yang mengalir sepanjang tahun ini berasal dari sungai bawah tanah yang merupakan gabungan dari sungai-sungai dari Gunung Yawila di SBD, hutan Purunombu di Sumba Barat dan Taman Nasional Tanadaru di Sumba Tengah. Debit air mencapai seribu liter per detik sehingga pengunjung dilarang untuk berenang, apalagi di dalam gua yang menyerupai kolam. Pernah terjadi orang tenggelam karena mengabaikan larangan tersebut.

Pemandangan sawah-sawah dari dalam gua (Sumber: Tripadvisor.co.id) 
Pemandangan sawah-sawah dari dalam gua (Sumber: Tripadvisor.co.id) 

"Bukan pemali, tetapi yang di dalam gua itu arus di bawahnya memutar dan deras sekali," terang Pakde Cipto.

Para pengunjung dari luar Sumba jika turun di Bandara Tambolaka di SBD, jarak ke Waikelo Sawah sekitar 40 kilometer. Mungkin sekitar 30 menit berkendara motor atau mobil dari Tambolaka. Kalau belum berubah, tiket masuk sebesar  5.000 rupiah per orang.  

Jika mau menginap, bisa dilakukan di Waikabubak, sebuah kota di tengah pulau Sumba, sedikit di ketinggian dan dikelilingi bukit-bukit. Tetapi jika hendak lanjut ke Waingapu di Sumba Timur, perlu waktu sekitar dua jam lagi melewati savana yang luas sejauh mata memandang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun