Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Akulturasi Budaya dalam Keraton Kasepuhan Cirebon

27 November 2022   20:27 Diperbarui: 27 November 2022   20:44 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keramik tentang Alkitab PL pada beberapa pilar dalam Keraton Cirebon (Sumber: Ervan Hardoko/Kompas.com) 

Dua Kompleks Bersejarah

Keraton Kasepuhan berisi dua kompleks bangunan bersejarah yaitu Dalem Agung Pakungwati yang didirikan pada tahun 1430 oleh Pangeran Cakrabuana dan kompleks keraton Pakungwati (sekarang disebut keraton Kasepuhan) yang didirikan oleh Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1529 Masehi. Pangeran Cakrabuana bersemayam di Dalem Agung Pakungwati, Cirebon.

Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa. Namanya diabadikan dan dimuliakan oleh Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.

Keluar dari Keraton, ada alun-alun yang dirubung oleh pedagang. Mereka mencari untung dari pengunjung yang datang. Tak jauh dari alun-alun, dibatasi jalan, berdiri Masjid Panjunan atau yang lebih dikenal sebagai Masjid Merah Panjunan mengacu pada tembok dari bata merah yang mengelilinginya.

Penulis di depan gerbang Masjid Merah Cirebon (Dokpri)
Penulis di depan gerbang Masjid Merah Cirebon (Dokpri)

Masjid ini didirikan tahun 1480 oleh Syarif Abdurrahman atau Pangeran Panjunan. Syarif Abbdurahman adalah seorang keturunan Arab yang memimpin sekelompok imigran dari Baghdad. Ia kemudian menjadi murid Sunan Gunung Jati.

Masjid ini juga menjadi contoh perpaduan budaya Hindu dari zaman Majapahit dengan Islam. Tembok dan gerbangnya  lebih mirip pura. Pada banyak tempat di Cirebon, kita bisa menjumpai gapura-gapura mirip kuil Hindu. Barangkali ini juga menjadi salah satu cara pendekatan kultural dalam rangka syiar agama Islam ketika itu.

Di dalam masjid ada beberapa keramik buatan China yang ditempelkan pada dinding. Kabarnya, keramik-keramik itu adalah bagian dari hadiah ketika Sunan Gunung Jati menikah dengan Tan Hong Tien Nio.

Cirebon menjadi saksi pertemuan budaya Tionghoa, India, Arab dan Eropa yang masih dapat kita lihat dari berbagai cerita dan peninggalannya saat ini. Terletak di pesisir utara Pulau Jawa, ia menjadi kota dagang yang ramai sejak dahulu kala. Sampai kini ia tetap kota yang jarang tidur .

(Bacaan: Sumber-Sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat, 1858-1963 / Thomas van den End; Nusa Jawa:Silang Budaya/Denys Lombard)  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun