Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Setelah Dua Abad Belanda di Batavia, Barulah Gereja Katolik Dibangun

27 November 2022   09:21 Diperbarui: 27 November 2022   09:31 1239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jemaat Gereja Katolik antri masuk untuk mengikuti perayaan misa seusai pandemi Covid-19 (Sumber: Mita Amalia Hapsari/Kompas.com)  

Stasiun Juanda masih sepi. Jakarta Pusat yang lengang. Tapi hanya pada Minggu pagi. Saya menyeberang di JPO, di atas halte Transjakarta, Gereja Katedral hanya berjarak 500 meter dari situ.

Sebenarnya ada pintu di sisi utara masjid Istiqlal yang andai terbuka bisa memotong jarak ke Gereja Katedral Jakarta. Sebab tembus ke pintu utama di sisi timur. Pintu utama Istiqlal langsung berhadap-hadapan dengan gerbang utama masuk Katedral.  Keduanya hanya dipisah Jalan Katedral.

Tetapi demi mendapatkan foto Katedral yang bagus, saya masuk pelataran Istiqlal. Bagus artinya bangunan gereja bisa saya dapatkan secara utuh. Rupanya sukar. Pohon-pohon di depannya seperti tirai hijau yang menghalangi pandangan saya.

Saat itu saya melihat satu keluarga. Terdiri atas istri, suami dan dua anak mereka. Menyeberang dari Istiqlal menuju Katedral. Berikutnya ada lagi. Sampai saya lupa menghitung jumlahnya.

"Mereka orang Katolik. Hanya titip parkir  di sini," kata Yunus ( 57) memberi penjelasan. Yunus adalah tukang parkir di Masjid Istiqlal. Hari itu dia mengenakan rompi warna hijau bertuliskan nama sebuah harian di ibukota. Entah koran harian itu masih hidup atau sudah mati kelindas media online?

Lahan parkir yang luas membuat umat Katolik yang saban Minggu misa di katedral memarkir mobil di tempat parkir masjid. "Apalagi kalau Natal dan Paskah, ratusan mobil jemaat biasanya parkir di sini. Soalnya parkir di gereja  sudah penuh," kata Yunus  lagi. 

Yunus hampir 30 tahun bertugas sebagai juru parkir. Ia persis tahu mobil-mobil umat Katolik yang parkir di sana. "Bayangkan kalau tiap hari Minggu ada lima kali misa, mobil meluber sampai ke sini. Tapi kalau misa jam 6 biasanya sedikit saja," jelas Yunus. Kebiasaan ini menurut Yunus sudah berlangsung puluhan tahun.

"Dari dulu sudah biasa begini, parkir di sini. Saya masih muda sekitar 20-an sudah jadi tukang parkir di sini. Sampai sekarang sudah punya dua cucu,hehehe." Yunus terkekeh.

Ternyata bukan hanya umat Katolik yang parkir di Istiqlal. Pada saat hari besar Islam, lahan parkir di depan Katedral juga kerap dipakai buat parkir jemaah. "Shalat Jumat pada parkir di sini. Mereka bilang, 'Bang titip ya'. Trus mereka sholat dulu," kata Robert,  petugas parkir Katedral.

Menurut Yunus kalau Natal atau Paskah mobil katedral yang parkir di area Masjid sampai 500 buah. "Lima buku parkir bisa habis. Padahal satu buku ada 100 lembar tiket," ujarnya. Pada hari-hari kerja biasa, antara Senin-Jumat, menurutnya, lahan parkir Istiqlal menampung secara silih berganti sekitar 60 mobil per hari, sedangkan motor lebih kurang 30-35 motor.

Pada malam Natal atau Paskah, kata Yunus, penjagaan dilakukan gabungan antara petugas parkir Istiqlal, petugas kepolisian, dan petugas parkir Katedral. Kebersamaan ini juga terlihat dari didirikannya pos keamanan Natal atau Paskah di area Istiqlal. Penjagaan dilakukan ramai-ramai. Terlihat pemuda berpeci yang berdiri menjaga keamanan bersanding pemuda berkalungkan salib.

Gereja Katedral Jakarta yang diberi nama Santa  Maria Pelindung Diangkat Ke Surga dirancang oleh Pastor Antonius Dijkmans, SJ. Diresmikan dan diberkati pada 21 April 1901 oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, SJ, Vikaris Apostolik Jakarta.

"Belanda Rasa Perancis"

Negeri Belanda sedang dikuasai Prancis akibat kalah perang. Prancis mengangkat Louis Napoleon (1807-1826) sebagai raja Belanda. Ia seorang Perancis beragama Katolik. Salah satu kebijakan Louis Napoleon adalah menekankan kebebasan umat beragama. Sebab itu pada tanggal 8 Mei 1807 pimpinan gereja Katolik di Roma mendapat persetujuan sang Raja untuk mendirikan Prefektur Apostolik Hindia Belanda yakni di Batavia. Prefektur Apostolik adalah wilayah Gereja Katolik yang bernaung langsung di bawah pimpinan Gereja Katolik di Roma. Untuk Hindia Belanda, ditunjuk seorang imam oleh Paus sebagai Prefek Apostolik, semacam pelaksana tugas.

April 1808 datang dua imam dari Belanda ke Batavia yakni, Pastor Yacobus Nelissen dan Pastor Lambertus Prinsen. Pastor  Nelissen diangkat sebagai Prefek Apostolik. Setelah hampir dua abad Belanda datang ke Batavia, barulah  ada Gereja Katolik di kota ini. Selama tahun 1808, mereka membaptis 14 orang, yaitu seorang dewasa keturunan Eropa Timur, delapan anak hasil hubungan gelap, di antaranya ada empat yang ibunya masih berstatus budak, dan hanya lima anak dari pasangan orang tua yang sah status perkawinannya.

Bekas Kapel Chasteleijn

Waktu itu yang menjadi Gubernur Jenderal adalah Herman Willem Daendels. Dia taat benar pada Raja Louis Napoleon yang mengangkatnya.  Maka ia berkewajiban menyiapkan rumah ibadah yang dapat dipakai untuk misa dan ritual lainnya. Deandels membeli sebuah kapel kecil di pinggir Jalan Kenanga, di daerah Senen, menuju Istana Weltevreden (sekarang RSPAD Gatot Subroto). Kapel ini milik Cornelis Chasteleijn yang sudah bermukim di Depok, yang sebelumnya dipakai  jemaat Protestan berbahasa Melayu,  dan pada hari biasa dipakai sebagai sekolah.

Karena kurang layak, bangunan itu direnovasi oleh Pastor Nelissen. Pekerjaan renovasi dipercayakan kepada pengusaha Tjung Sun. Kapel yang bisa menampung 200 anggota jemaat inilah yang menjadi tempat beribadat umat Katolik di Batavia dengan nama pelindung Santo Ludovikus. Tetapi kapel persebut ikut terbakar ketika segitiga Senen dilalap si jago merah pada 27 Juli 1826. Pastoran turut lebur menjadi abu bersama 180 rumah lainnya.

Pada waktu itu yang menjabat sebagai Komisaris Jenderal Batavia adalah Leonardus Petrus Josephus Burggraaf Du Bus de Ghisignies. Makhlum ningrat Eropa, jadi nama mesti panjang. Ia orang Belgia dan penganut Katolik. Sebagai Komjen ia bisa lebih berkuasa dari seorang Gubernur Jenderal. Apalagi kalau urusan keuangan. Du Bus De Ghisignies benar-benar memakai pengaruhnya dengan berusaha mendirikan gereja baru.

Ia minta Dewan Gereja Katedral membeli persil bekas istana Gubernur Jenderal di pojok barat/utara Lapangan Banteng (dulu Waterlooplein) yang waktu itu dipakai sebagai kantor oleh Departemen Pertahanan. Di situ berdiri bangunan bekas kediaman Jenderal de Kock, Panglima Perang Hindia Belanda. Umat Katolik diminta membeli tanah dan rumah itu seharga 20.000 gulden.

Pada tahun 1826 sang Komjen memerintahkan Ir. Tromp untuk menyelesaikan "Gedung Putih" yang dimulai oleh Daendels (1809) dan kini sebagai kantor Departemen Keuangan di Lapangan Banteng. Tromp juga diminta membangun kediaman resmi komandan Angkatan Bersenjata (1830) yang sekarang menjadi Gedung Pancasila di Jl. Pejambon. Ia juga diminta merancang Gereja Katolik pertama di Batavia. Masih berupa kapel. Tempatnya adalah yang sekarang dipakai Gereja Katedral.

Semua bangunan yang disebutkan di atas kini berada di kawasan "ring satu" RI, dengan mengambil Istana Negara sebagai pusarannya.

 Tromp merancang bangunan gereja yang baru. Berbentuk salib sepanjang 33 x 17 meter. Ruang altar dibuat setengah lingkaran, sedang dalam ruang utama yang panjang dipasang enam tiang. Gaya bangunan ini bercorak barok-gotik-klasisisme; jendela bercorak neogotik, tampak muka bergaya barok, pilaster dan dua gedung kanan kiri bercorak klasisistis. Menara tampak agak pendek dan dihiasi dengan kubah kecil di atasnya. Maka, gaya bangungan itu disebut eklektisistis. Tetapi perlu dana sangat besar untuk mewujudkannya. Karena tak ada uang, rancangan ini tidak pernah diwujudkan.

Gereja Katedral Jakarta tahun 1950-an (Sumber: Repro Buku Gereja-Gereja Tua di Jakarta) 
Gereja Katedral Jakarta tahun 1950-an (Sumber: Repro Buku Gereja-Gereja Tua di Jakarta) 

Atas usul Tromp pula kapel yang ada dirombak sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk gereja. Pada tanggal 6 November 1829 diberkati oleh Monseigneur Prinsen dan diberi nama Santa Maria Diangkat ke Surga. Untuk pertama kalinya, pada tanggal 8 Mei 1834, empat orang pribumi suku Jawa dibaptis di gereja ini.

Tetapi 10 tahun kemudian, pada hari ketiga setelah Paskah,pada 9 April 1890, gereja ini runtuh karena tidak kuat menahan beban di atasnya. Mungkin juga karena bahan-bahannya sudah lapuk.

=000=

Pembangunan gereja yang baru segera diupayakan. Pastor Antonius Dijkmans, SJ seorang ahli bangunan yang pernah mengikuti kursus arsitektur gerejani di Violet-le-Duc di Paris, Perancis serta Cuypers di Belanda ditunjuk sebagai arsitek. Pertengahan tahun 1891 dilakukan peletakan batu pertama. Tetapi kemudian terhenti karena kurangnya biaya. Selain itu, pada tahun 1894 Pastor Dijkmans harus pulang ke Belanda karena sakit. Ia akhirnya meninggal dunia pada tahun 1922. Pekerjaan pembangunan macet sejak ia pulang ke Belanda. Misa dilaksanakan di garasi pastoran.

Uskup baru, Mgr Edmundus Sybradus  Luypen SJ (1898-1923) mengumpulkan dana di Belanda dan meminta Ir. M.J. Hulswit memulai pembangunan lagi. Batu "pertama" diletakkan dan diberkati pada tanggal 16 Januari 1899, sebagai tanda dimulainya pembangunan gereja ini. Pada bulan November balok-balok atap di pasang.

Sebelas tahun sesudah keputusan Badan Pengurus Gereja, sepuluh tahun sesudah peletakan batu pertama, gereja ini akhirnya selesai. Perlu diingat bahwa selama 7 tahun pembangunan gereja terhenti karena kehabisan dana, sehingga pembangunan sebenarnya hanya berlangsung 3 tahun.

"De Kerk van Onze Lieve Vrowe ten Hemelopneming - Gereja Santa Maria Diangkat Ke Surga" diresmikan dan diberkati oleh Mgr. E.S. Luypen, SJ, pada tanggal 21 April 1901. Bulan April 2022 lalu ia sudah berusia 121 tahun.

=000=

Berbagai peristiwa mewarnai perjalanan seabad lebih gereja ini. Pada tahun 1924 Mgr A. Van Velsen SJ ditabhbiskan di sini sebagai uskup pertama Batavia. Setahun kemudian sidang pertama Majelis Wali-wali Gereja Indonesia (yang kini menjadi KWI-Konferensi Wali Gereja Indonesia) diadakan dalam Pastoran Katedral.

Soekarno bersama Paus Paulus VI (Sumber: Katolikana.com) 
Soekarno bersama Paus Paulus VI (Sumber: Katolikana.com) 

Kardinal Agaginian, seorang Armenia, mengunjungi Jakarta pada tahun 1959. Ia diterima Presiden Soekarno. Pembicaraannya dengan para waligereja dan pembesar ordo yang berkarya di seluruh Indonesia memutuskan bahwa gereja di Indonesia bukan daerah misi lagi, melainkan gereja yang mandiri. Vikaris Apostolik Jakarta, Mgr. Adrianus Djajasepoetra, yang ditahbiskan di Katedral Jakarta oleh Duta Besar Vatikan pada tanggal 23 April 1953, sepuluh tahun kemudian diangkat menjadi Uskup Agung.

Peristiwa lainnya yang menggembirakan bagi umat Jakarta adalah kunjungan Paus Paulus VI (1970) dan Paus Yohanes Paulus II (1989) ke Indonesia yang disambut oleh Mgr Leo Soekoto. Ibadat dirayakan dengan meriah oleh Paus Paulus VI bersama banyak Uskup di Katedral. Pada waktu kunjungan Paus Yohanes Paulus II di Keuskupan Agung Jakarta sedang berlangsung Sinode Pertama.

Sampai saat ini gereja katedral telah dua kali dipugar untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan dan membersihkan lumut serta pengecatan ulang. Pertama pada tahun 1988 dan kedua tahun 2002. Keduanya dilakukan oleh arsitek  Han Awal (alm), ayahanda  arsitek Yori Antar yang membangun  Rumah Budaya Sumba milik Kongregasi Redemptoris di Weetebula, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. (Sumber bacaan: Gereja-Gereja  Tua di Jakarta/Adolf Heuken SJ)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun