Tahun 2017 saya terlibat penyuluhan tentang filariasis atau penyakit kaki gajah dengan Guru Besar Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Dr. Dra. Taniawati Supali di sebuah kecamatan di pelosok Pulau Sumba, NTT.Â
Saya harus bicara dalam bahasa ibu di depan puluhan kepala desa, para kepala urusan (Kaur) desa dan tokoh masyarakat untuk menjelaskan perihal penyakit ini.
Sebab di kalangan masyarakat di sana,  secara turun-temurun telah diyakini bahwa  penyakit kaki gajah (Kodi=kpola)disebabkan oleh karena mereka telah menginjak sejenis kepiting beracun yang disebut kura biyo.Â
Keyakinan ini terus-menerus diproduksi dan diwariskan kepada generasi yang baru. Orang Kodi belum paham bahwa penyebab kaki gajah adalah cacing filaria yang ditularkan melalui nyamuk.
Nyamuk mengisap darah seseorang yang mengandung cacing filaria dan terinfeksi, lalu menularkannya ketika menggigit orang lain.Â
Larva cacing filaria ini menetap dalam pembuluh getah bening, berkembang biak di sana dan menyumbat peredaran getah bening, menyebabkan kaki membesar seperti kaki gajah sampai pada pembesaran buah pelir yang disebut klahi dalam bahasa setempat.
Ketika berbicara di kantor kecamatan, semua peserta manggut-manggut, paham tentang hal ini, apalagi disertai dengan gambar-gambar yang menarik dan dipancarkan melalui proyektor slide.Â
Tetapi kondisi berubah ketika berada di lapangan. Pemahaman warga yang sudah berakar tentang hal ini susah dibongkar.Â
Tidak saja pada penyebab kaki gajah, tetapi juga pada obat-obatan yang diberikan kepada mereka yang sudah terjangkit atau yang berpotensi terjangkit penyakit ini.Â
Masyarakat mengira obat-obatan tersebut adalah obat KB yang akan membuat mereka mandul dan tidak punya anak lagi, dan macam-macam persepsi lainnya.Â
Terjadi penolakan. Perlu kesabaran dan pendekatan yang tepat. Bukan saja oleh petugas lapangan, tetapi terutama oleh tokoh masyarakat yang mereka percaya.
Pada bulan September 2022 saya meliput di beberapa desa di Sumba Timur terkait Desa Wisata Tangguh Bencana, Inklusi dan Adaptif.Â
Salah satu syaratnya adalah jangkauan vaksinasi  COVID-19 seluruh tahapan yang sudah menjangkau 100 persen bagi warga di desa wisata tersebut. Kendala yang dihadapi para petugas lapangan adalah persepsi terhadap vaksin COVID-19 yang beragam dan melahirkan penolakan pada beberapa kampung.Â
Ada yang mencurigai vaksin tersebut hanya akal-akalan pemerintah, padahal virus Covid sebenarnya tak ada. Ada juga kecurigaan bahwa dalam vaksin tersebut mengandung chip yang sengaja ditanam untuk mengawasi warga yang sudah disuntik vaksin COVID-19. Entah dari mana mereka memetik ilmu ini, tetapi kenyataannya memang demikian.
Memang ada sekte tertentu dalam agama Kristen (Katolik dan Protestan) yang menghubungkan vaksin COVID-19 dengan penanaman microchip 666 dan antiKris seperti yang diwahyukan dalam Alkitab dan menyebabkan fobia.Â
Mereka berpandangan bahwa dalam tubuh mereka telah terkandung gen Kristus dan vaksin tersebut akan membongkar dan membuat mereka binasa.Â
Keyakinan ini kita hormati. Namun perlu juga diluruskan. Maka di sini yang diperlukan adalah tokoh agama yang mereka percaya untuk meluruskannya.
Kini di beberapa tempat terutama di  Kabupaten Pidie, Aceh, ditemukan kasus polio yang menyerang seorang anak berusia tujuh tahun. Seperti diberitakan Kompas.id. Ia belum pernah divaksinasi dan terinfeksi virus polio liar tipe 2.Â
Menurut survei cepat Kementerian Kesehatan bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 26 rumah tangga di Pidie, hanya 8 dari 33 anak yang sudah mendapat vaksin polio oral lengkap.
Masih menurut Kompas.id, kondisi memprihatinkan ini tidak hanya terjadi di Aceh, tetapi di sejumlah wilayah Indonesia. Hingga November 2022, ada 30 provinsi dan 415 kabupaten atau kota di Indonesia masuk kriteria berisiko tinggi polio.
"Selain cakupan imunisasi  yang belum memadai antara lain karena kurangnya tenaga Kesehatan dan COVID-19 yang melanda dalam dua tahun terakhir ini, upaya pemerintah untuk mencapai cakupan imunisasi universal (UCI) 90 persen sebenarnya sudah menghadapi banyak kendala. Â
Kondisi geografis, agama, budaya, dan sekarang teknologi informasi memunculkan persepsi yang beragam. Dampaknya adalah perlawanan terhadap vaksinasi, bisa diam-diam, atau terbuka," demikian kesimpulan Kompas.id.
Saya percaya pada kesimpulan di atas. Seperti dikatakan dalam tulisan yang sama, upaya Kementerian Kesehatan mengatasi ketertinggalan vaksinasi dasar dengan program Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) patut diapresiasi.Â
Namun, upaya ini hanya mengatasi masalah jangka pendek. Dalam jangka panjang, pemerintah harus mengubah pola sosialisasi programnya.
Kompas.id mengutip buku Cecil G. Helman Culture, Health an Illness (2000), bahwa yang paling penting dalam  membangun kesehatan masyarakat adalah pendekatan sosiologis dan antropologis.
Antara lain menurut penulis untuk membongkar salah persepsi yang terlanjur menjadi keyakinan di atas. Seperti beberapa contoh kecil yang penulis temukan dan alami sendiri di lapangan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H