Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Festival Wai Humba: Ziarah Bersama Menyelamatkan "Ibu Bumi"

21 November 2022   10:33 Diperbarui: 26 November 2022   16:16 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Flayer Festival Wai Humba (Sumber: Panitia Wai Humba) 

Pelaksanaan Festival ini adalah kesempatan berefleksi bersama seluruh warga Sumba bersama para penganut Marapu dari empat gunung Purunobu, Yawila, Wanggameti dan Tanadaru. Apakah "ibu bumi" masih kita hargai? Atau sebaliknya seperti disinyalir Mike di atas, sudah kita jual kepada para pemilik modal yang serakah?

Kenyataan bahwa bumi Sumba sudah diperdagangkan dapat kita lihat dalam berbagai contohnya, antara lain kehilangan tanah bagi warga pada pesisir utara Kabupaten Sumba Barat Daya karena telah dijual kepada para pemilik modal. Pantai-pantai di pesisir utara Sumba Timur pun demikian.

Foto: Panitia Wai Humba
Foto: Panitia Wai Humba

Ketika malam makin larut, diskusi Empat Gunung yang diwakili oleh para Rato Marapu masih berlangsung. Hujan di luar terus merinai.

Satu hal yang menjadi topik malam itu adalah menyelamatkan Tanjung Sasar di ujung utara Sumba Timur, yang telah menjadi simbol pemersatu seluruh suku yang mendiami pulau ini. Nenek-moyang orang Sumba diyakini mendarat di sana, sebelum menyebar ke seluruh pulau.

Sementara kini, Tanjung Sasar sedang diincar dan mulai dikapling oleh para pemilik modal bekerjasama dengan para oknum dari pemerintahan.

=000=

Sejak awal dilaksanakan Festival Wai Humba adalah ke-swadaya-an warganya. Semua suku yang diundang ambil bagian membawa serta apa yang ia miliki: Ayam, babi, sayur-sayuran, beras, jagung, kelapa, keladi dan hasil bumi lainnya untuk disantap bersama selama acara beberapa hari itu.

Regina Radu Pala (45), seorang perempuan penenun dan petani dari Kodi membawa satu karung sayur-sayuran. Pada festival sebelumnya ia membawa kelapa. "Saya bawa sayur-sayuran satu karung ke sini. Kita tidak boleh datang dengan tangan kosong, meskipun tuan rumah pasti sudah menyiapkan makanan untuk kita. Sebelumnya kami membawa kelapa dari Kodi," kata dia. 

Flayer Festival Wai Humba (Sumber: Panitia Wai Humba) 
Flayer Festival Wai Humba (Sumber: Panitia Wai Humba) 

Sumbangan itu mungkin tak bernilai uang yang banyak. Tetapi yang tak bisa dinilai dengan uang adalah kesadaran untuk berswadaya. Mereka enggan menadahkan tangannya. Justru memberi, bahkan dari kekurangan mereka.

Sebuah nilai yang menjadi antitesa dari apa yang selama ini diberikan oleh pemerintah kepada warganya: Bantuan Langsung Tunai. Alih-alih menciptakan kemandirian agar warga mencari sendiri untuk kehidupan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun