Matahari sore sedang menurunkan kaki-kaki keemasannya di ufuk barat, akhir September 2022 lalu. Parkir motor dan mobil di bawah bukit Laiuhuk Wairinding, Desa Pambotanjara, Kecamatan Kota Waingapu, Sumba Timur, NTT, mulai ramai. Beberapa wisatawan dari luar pulau sedang antri membeli tiket masuk seharga 10 ribu untuk pengunjung dewasa dan lima ribu rupiah untuk anak. Separuhnya sudah berada di puncak bukit.
Bukit Wairinding salah satu tujuan wisata alam di kabupaten ini. Pengunjung biasanya datang untuk menikmati sunset dilatari puluhan bukit yang berangkai-rangkai menjadi satu.
"Ramai kalau sore, karena pengunjung mau foto dengan latar sunset," kata Soni Nggalah Amah (25), Ketua BumDes Harapan Baru, Desa Pambotanjara. BumDes Harapan Baru didapuk sebagai pengelola tempat wisata ini.
Soni yang lulus dari sebuah perguruan tinggi di Bali baru saja diangkat pada Februari 2022 lalu. Sejak itu ia mulai berbenah, menyiapkan sarana dan prasarana yang lebih memadai untuk Bukit Wairinding. Antara lain air bersih untuk toilet dan sistem pembayaran digital Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Â
"Tidak sengaja juga pakai QRIS. Karena banyak pengunjung yang ke sini tidak bawa uang cash, apalagi yang dari luar daerah. Atau kadang juga karena uang besar, tidak ada kembalian. Jadi kami pikir harus pakai metode QRIS ini biar lebih praktis," jelas Soni.
Pada saat yang sama Bukit Wairinding adalah salah satu destinasi wisata yang sedang mendapatkan pendampingan dari sebuah NGO terkait Pengurangan Risiko dan Pemulihan Dampak COVID-19 dalam Program Penguatan Desa Wisata Tangguh, Inklusif dan Adaptif. Keinginan untuk menerapkan pembayaran secara digital mendapat dukungan penuh dari mereka. Apalagi setelah BumDes lebih banyak mengetahui manfaat dari pembayaran secara digital. Persyaratan kerjasama dengan bank dipenuhi.
Tetapi sempat timbul kekhawatiran dalam diri Soni. Meskipun selama ini ia sudah mengenal beberapa cara pembayaran digital, namun ia masih ragu, benarkah membayar secara digital ini ada uangnya? Apalagi setiap bulan pengurus BumDes harus melakukan pelaporan keuangan kepada aparat desa sebagai bentuk pertanggungjawaban.
"Makhlum Pak, di sini kami kan masih pakai sistem 'ada uang ada barang'. Jadi harus kelihatan wujudnya. Sementara kalau QRIS ini kan tidak kelihatan uangnya," kata Soni sembari tertawa.
Namun akhirnya kerjasama dengan Bank NTT ditandatangani bulan April 2022 lalu. Bank NTT adalah bank milik Pemerintah Provinsi NTT sebagai salah satu Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP). Kepada mereka diberikan QR Code. Juga kursus singkat bagaimana mempergunakannya di tempat wisata tersebut. Sebelum diberi beberapa stiker QRIS.
"Ternyata waktu ada yang pakai mobile banking, seminggu kemudian pas pergi setor uang ke bank, kami dapatkan laporan jumlahnya. Saya juga bisa lihat pelaporannya dari HP. Sudah termasuk yang pakai pembayaran digital  itu," jelas Soni. Pemasukan dari wisata Bukit Wairinding saat ini berkisar antara tujuh hingga sembilan juta rupiah per bulan.
Peristiwa di atas menumbuhkan kepercayaan dalam diri Soni dan pengurus BumDes. Laporan tersebut Soni sampaikan kepada aparat desa dalam rapat bulanan bersama.
Bagi Soni, sistem pembayaran digital sangat memudahkan mereka karena lebih praktis dan aman. Selain itu mereka terhindar dari menerima pembayaran dengan uang palsu. Sebab di Waingapu telah ada beberapa kasus peredaran uang palsu. Â
"Yang menurut saya sangat bagus adalah karena uang untuk BumDes tidak tercampur dengan uang pribadi. Kalau kita pegang uang cash ini bisa saja kita tergoda untuk pakai dulu. Nah, lama-lama kalau tidak sadar kita sudah pakai banyak. Pas mau kasih kembali, jumlahnya sudah jutaan," jelasnya.
Saat ini, usaha yang berada di bawah BumDes, semuanya sudah menerapkan QRIS, antara lain pembelian souvenir kain dan selendang, parkir kendaraan dan  pemakaian toilet.
Meskipun demikian, kata Soni, masih ada tugas yang perlu mereka lakukan, yakni meyakinkan pada pedagang UMKM di sana, yakni para penjual kopi, makanan kecil, jasa penyewaan kain dan kuda, untuk beralih ke QRIS. Bagian ini masih belum bisa dijalankan karena para pedagang menurut Soni, ingin dibayar dengan uang cash.
"Mereka kayak belum percaya kalau pakai pembayaran digital sama juga kalau kita pegang uang. Mereka juga enggan harus ke Waingapu untuk tarik uang karena harus kasih keluar ongkos lagi," jelas Soni. Wairinding dan Waingapu berjarak 25 kilometer. Â
Menurut Soni, yang diperlukan sekarang adalah penyedia jasa PJSP sering datang untuk melakukan promosi agar wawasan pegiat UMKM di tempat wisata mereka lebih terbuka tentang transaksi digital.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H