Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyingkap Peran Tokoh Kristen dari Gedung di Kramat 65 Jakarta

13 November 2022   10:24 Diperbarui: 13 November 2022   11:16 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku sejarah tentang tiga Jemaat Kristen di Jakarta, antara lain GKP Jemaat Cawang. (Foto:Lex) 

Sejarah bisa ditemukan dari banyak simpul. Terkait satu sama lain. Demikian yang saya alami ketika menulis dan mengeditori buku sejarah Persekutuan Taman Harapan Menjadi GKP "Ebenhaezer" Cawang (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2021). Ketika datang ke Jakarta untuk memotret gedung GKP Kramat di Jalan Kramat 65, Jakarta Pusat, sebagai ilustrasi, saya menemukan sejarah yang lain seperti akan saya kisahkan di bawah ini.

GKP adalah sinode Gereja Kristen Pasundan, yang berkantor pusat di Bandung, berdiri pada 14 November 1934. Mereka memiliki sekitar 56 Jemaat di tiga provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Besok, Senin (14/11/2022) mereka akan berulang tahun ke-88.  

Dari  pendeta GKP Kramat saya diberi "buku sejarah" mereka: Sejarah Tiga Gereja Kramat Raya 65; Upaya Menelusuri Pemeriharaan Sang Kepala Gereja atas GKP, GMIST, GpdI Kramat Raya 65, Jakarta Pusat (2009) yang diterbitkan untuk kepentingan internal. Ditulis secara bersama-sama oleh Badan Kerjasama Tiga Gereja. Meskipun terlampau ringkas, ada bibit-bibit baik yang bisa dikembangkan dari naskah tersebut.

Gedung di Jalan Kramat 65  memuat sejarah perjalanan dan peran serta orang  Kristen dalam perjalanan bernegara di Indonesia yang baru seumur jagung ketika itu. Dahulu ia adalah gedung "Balai Persekutuan Kaum Kristen" (BPKK) Jakarta. Persekutuan ini dibentuk pada 23 September 1942. Asal-muasal dan intensi pendirian BPKK yang belum saya temukan. Tahun 1946 BPKK dipimpin oleh Jacob Bernadus Sitanala, dokter ahli kusta pertama milik Indonesia yang namanya dipakai menjadi nama RS Kusta Sitanala di Tangerang, sekarang.  Ada banyak tulisan yang menyebut namanya sebagai John Baptista atau Joseph Batista Sitanala. Sama-sama "JB".

Sitanala yang juga turut mendirikan Palang Merah Indonesia (PMI), punya peran sentral dalam memindahkan para pengungsi orang Kristen dari sekitar Jakarta yang dikejar-kejar laskar bersenjata (karena dituduh pro-Belanda, sebab agama Kristen dinilai agama Belanda) dari Kramat 65 ke sebuah gudang penampungan yang terpencil di Cawang, yang beralih menjadi Panti Sosial Taman Harapan,  cikal-bakal GKP Jemaat Cawang saat ini.  

J.B. Sitanala (Sumber:ijl.ilsl.br)
J.B. Sitanala (Sumber:ijl.ilsl.br)

Gedung di Kramat 65 adalah milik J. Schuitemaker, seorang tentara Belanda. Disewa oleh BPKK untuk balai pertemuan dan tempat ibadat orang Kristen.  Selanjutnya persekutuan  mengurus izin untuk menjadi gereja dan diperoleh pada 24 November 1945. BPKK menjadi Gereja Persatuan Protestan (GPP).

Para pendeta yang melayani  adalah Pdt. Sinen Tjenteng dan Pdt. J.P Nunuhitu. Dibentuk pula  Majelis Gereja yang diketuai oleh J.P. Nunuhitu, A.S. Niman (sekretaris) dan M.Banyutawa (anggota). Kemudian hari,  gedung GPP menjadi gereja yang dipakai bersama oleh Gereja Kristen Pasundan (GKP), Gereja Pentakosta  di Indonesia (GpdI) serta Gereja Masehi  Injili Sangihe Talaud (GMIST). 

Buku sejarah tentang tiga Jemaat Kristen di Jakarta, antara lain GKP Jemaat Cawang. (Foto:Lex) 
Buku sejarah tentang tiga Jemaat Kristen di Jakarta, antara lain GKP Jemaat Cawang. (Foto:Lex) 

Sebagai balai pertemuan, gedung BPKK kerap dipakai rapat. Juga rapat pada 9 November 1945. Beberapa tokoh Kristen berunding dan mendirikan Partai Kristen Nasional (PKN). Antara lain: Pendeta Basuki Probowinoto, Todung Sutan Gunung Mulia, Fredrick Laoh, W.Z. Johannes, J.K.Panggabean, Soedarsono, Maryoto dan Martinus Abednego. Beberapa bulan kemudian PKN berubah nama menjadi "Parkindo". Dalam rapat itu sebenarnya ada beberapa tokoh Katolik yang ikut hadir. Namun mereka memilih tidak ikut bergabung ke dalam PKN, sebab,  "Kami harus mendengarkan suara Uskup Agung soal mendirikan partai politik." Terbukti kemudian lahir Partai Katolik yang membawa nama I.J. Kasimo.

Pada tahun 1973, Parkindo dan Partai Katolik berfusi dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang kini telah bersalin rupa menjadi PDI-Perjuangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun