Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengukur Jarak dengan "Akal Sehat"

11 November 2022   08:26 Diperbarui: 11 November 2022   10:01 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan rusak antara jayapura-Wamena di Papua (Sumber: Kementerian PUPR via Kompas.com) 

Jarak Jakarta-Surabaya lewat jalan raya Deandels yang kerap disebut Pantura adalah 783 kilometer (km). Jika lewat tol lebih dekat tiga km, seperti ditulis Badan Litbang Kementerian Perhubungan RI. Jarak ini mendekati kebenaran. Tapi tidak persis.

Jarak Waitabula di ujung barat Pulau Sumba ke Waingapu di ujung timur, disebutkan sejauh 165,8 km oleh google maps. Pada patok jarak per kilometer yang ditanam pada zaman Orde Baru, kedua kota ini dihitung 173 km.  Sementara dari Waitabula ke kota Waikabubak yang berada di tengah pulau hanya 40 km.

Artinya jarak antara Jakarta-Surabaya, Waitabula-Waikabubak-Waingapu relatif bisa diukur memakai satuan "jarak", meskipun tidak persis.

Namun bagaimana kalau misalnya kita berangkat dari Waingapu ke Tawui,  sebuah kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sumba Timur? Sebab taka da patok penunjuk jarak di sepanjang perjalanan. "Si Nona" yang penunjuk arah dalam google maps juga pasti bingung, karena ia hanya "hidup" selepas Waingapu. Selebihnya,  di padang-padang savana dan bukit dan lembah,  ia "mati suri" karena tak ada jaringan internet.

Persoalannya, bagaimana menggambarkan jarak antar kedua daerah di atas agar pembaca  bisa memahaminya dengan mudah? Apakah seperti ini: "Pantai Tawui di selatan Sumba Timur bisa ditempuh dalam waktu tujuh  jam dari Waingapu"? Satuan jarak kilometer diganti dengan hitungan jam.

Muncul pertanyaan lain: Jarak itu ditempuh memakai moda transportasi apa? Apakah sepeda motor, sepeda angin atau  mobil? Jika salah satu di antara mereka yang dipakai, berapa kecepatannya? Berapa kali beristirahat? Apakah pecah ban dalam perjalanan atau tidak? Apakah mobil slip dalam lumpur atau tidak? Dan mungkin masih banyak pertanyaan lain.

Dalam beberapa kasus, karena dicantumkan dalam buku atau artikel yang akan dibaca khalayak, jarak perlu saya ditulis. Dengan pendekatan "akal sehat". Meskipun tetap saja relatif.

Jalan rusak menuju Tawui di Sumba Timur (foto:Lex) 
Jalan rusak menuju Tawui di Sumba Timur (foto:Lex) 

Tentu saja jalur Waingapu-Tawui sebagai contoh di atas bisa ditempuh dengan naik sepeda angin, tetapi tidak berlaku umum. Kecuali bagi mereka yang menyenangi olahraga lintas alam. Maka pilihannya adalah memakai motor atau mobil. Misalnya, "Pantai Tawui berjarak sekitar 160-an km dari Waingapu. Bisa ditempuh dalam waktu tujuh jam dengan mobil double gardan."

Dengan menambahkan keterangan bahwa infrastruktur jalan ke sana sangat buruk yakni badan jalan yang habis digerus air, berlubang, berlumpur dan melewati sungai-sungai. Itulah yang membuat jarak 160-an km ini mesti ditempuh dalam tempo tujuh  jam.

Tetapi tempo tujuh  jam ini juga relatif. Sebab tidak sama antara mobil yang satu dengan yang lainnya. Kesimpulan saya, persepsi orang tentang jarak bisa berbeda-beda. Disesuaikan dengan konteks.

Suatu kali kami akan membuat video tentang air bersih di Pantai Kasuari, di sebelah selatan Merauke, Provinsi Papua. Kami diantar warga setempat.

"Dekat saja, Bapa," jawab mereka ketika saya bertanya soal jarak.

Namun lewat satu jam, belum juga sampai ke tempat yang dimaksud, yakni sebuah hutan tempat mata air berada.

"Itu di sana, Bapa. Lewat pucuk-pucuk pohon itu," sembari menunjuk pepohonan di depan ketika anggota rombongan mulai kelihatan loyo. Alhasil, kami tiba di mata air setelah berjalan hampir tiga jam.

Tetapi mungkin inilah enaknya berbahasa Indonesia. Banyak hal bisa dijelaskan sesuai konteksnya. Jarak menjadi relatif. Bagaimana menjelaskan kemacetan di kawasan Sudirman, Jakarta, selepas jam kantor dan pas hujan turun deras? Sebab jarak tiga kilometer saja, untuk bisa keluar dari keruwetan itu, perlu waktu lebih dari satu jam.

Seperti jarak, barangkali hidup juga demikian. Relatif saja. Selalu tak pasti. Meskipun ada nilai-nilai yang harus kita peluk sampai mati.

Apakah jarak aku ke hatimu relatif juga?  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun