"Dekat saja, Bapa," jawab mereka ketika saya bertanya soal jarak.
Namun lewat satu jam, belum juga sampai ke tempat yang dimaksud, yakni sebuah hutan tempat mata air berada.
"Itu di sana, Bapa. Lewat pucuk-pucuk pohon itu," sembari menunjuk pepohonan di depan ketika anggota rombongan mulai kelihatan loyo. Alhasil, kami tiba di mata air setelah berjalan hampir tiga jam.
Tetapi mungkin inilah enaknya berbahasa Indonesia. Banyak hal bisa dijelaskan sesuai konteksnya. Jarak menjadi relatif. Bagaimana menjelaskan kemacetan di kawasan Sudirman, Jakarta, selepas jam kantor dan pas hujan turun deras? Sebab jarak tiga kilometer saja, untuk bisa keluar dari keruwetan itu, perlu waktu lebih dari satu jam.
Seperti jarak, barangkali hidup juga demikian. Relatif saja. Selalu tak pasti. Meskipun ada nilai-nilai yang harus kita peluk sampai mati.
Apakah jarak aku ke hatimu relatif juga? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H