Kawan, mari berkunjung ke Pulau Sumba di NTT. Di sana Anda akan menemukan hal yang mungkin tak pernah Anda temukan di wilayah Indonesia yang lain. Pulau ini bisa dijangkau dengan kendaraan roda dua atau roda empat dari ujung barat di Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya  hingga ke ujung timur di Tawui, Kabupaten Sumba Timur. Jaraknya sekitar 500-an kilometer dari ujung ke ujung.
 Di tempat ini, kenangan Anda seperti dilempar ke masa lalu, pada zaman megalitikum, ketika orang-orang memahat batu dengan peralatan seadanya, menariknya puluhan kilometer untuk dijadikan batu kubur. Bahkan di tengah kota seperti Waikabubak, ibukota Kabupaten Sumba Barat di tengah Pulau Sumba, kita hanya perlu berputar-putar beberapa saat untuk menjangkau Kampung Tarung, Waitabar, Prai Ijing dan beberapa kampung adat lainnya di sekitar situ.
Tetapi kalau mau yang agak jauh di sisi barat pulau, ada banyak kampung adat dengan batu-batu kubur dari zaman megalitikum, antara lain di Kampung Besar (Parona)  Ratenggaro, Kecamatan Kodi Bangedo. Atau ke laguna Wekuri. Kendaraan bisa sampai ke sana, jalannya bagus meskipun ada sedikit sensasi offroad, sehingga jika para blogger di dalam adira.id/e/fkl2022-blogger misalnya  ingin melakukan roadtrip dengan kendaraan roda dua atau empat, Anda akan memperoleh pengalaman tak terlupakan. Di sini sajian lengkapnya adalah rumah-rumah adat dengan kuburan megalitik  di tengahnya, dan pantai berpasir putih. Ini kawasan yang langsung berbatasan dengan lautan Hindia di bagian selatan. Sebab nun di sana adalah negara Australia.
Kami memiliki dua bandara. Satu di bagian barat yakni Bandara Tambolaka yang bisa dijangkau dari Bali sekitar satu jam, dan lainnya Bandara Umbu Mehang Kunda di Sumba Timur sejauh 1,5 jam dari Bali. Anda bisa memulai petualangan dengan kendaraan entah dari barat ke timur atau sebaliknya. Sepanjang perjalanan itu Anda akan melewati savana yang luas, ribuan bukit dan jalanan yang berkelok-kelok di perut bukit yang telah dipapas. Sejauh barat ke timur adalah jalan trans-Sumba kategori Jalan Negara sehingga terpelihara dengan baik. Anda juga bisa berhenti di mana saja di tengah savana, seperti dalam film-film Hollywood berlatar Skotlandia itu, untuk berswafoto dengan latar panorama bukit-bukit dan savana yang luas.
 Kini mari masuk ke Kabupaten Sumba Timur. Penulis merekomendasikan empat destinasi wisata yang mudah dijangkau dari pusat kota Waingapu dan telah menjadi Desa Wisata Ramah Berkendara:
Air Terjun Tanggedu
Tak ada yang mengira bahwa pada kedalaman bukit-bukit yang tandus itu ada sebuah air terjun yang mengalir sepanjang tahun. Tetapi datanglah pada musim kemarau antara Juni hingga November agar Anda boleh menyaksikan air yang berwarna hijau toska.
Perjalanan ke Tanggedu melewati jalan lintas Pantai Utara (Pantura) Pulau Sumba. Dari Waingapu menuju barat sejauh 39 kilometer, melewati jalan beraspal, sebelum nanti di Pasar Mondu berbelok ke kiri, melintasi savana luas dan bukit-bukit sejauh sekitar 8 kilometer. Rem kendaraan mesti pakem, sebab jalan yang dilewati kadang menurun tajam, sementara di sisi kiri dan kanan jalan adalah kaki bukit yang curam.
Syukur-syukur Anda datang pada bulan September atau Oktober ketika pohon "sakura Sumba" sedang mekar. Kami menyebutnya pohon konjil dari spesies cassia javanica. Silahkan berhenti di Kampung Maudolung di Kecamatan Kanatang. Mereka tumbuh liar di sana, atau kini sengaja ditanam atas anjuran pemerintah setelah banyak wisatawan berswafoto dengan latar pohon ini.
Begitu tiba di Kampung Tanamiting, di sana ada Posko Pusat Informasi, tempat parkir dan pangkalan ojek. Air Terjun masih berjarak sekitar 1,4 kilometer. Jika ingin berjalan kaki sembari memotret sana-sini, ini pilihan yang bagus. Anda akan melewati hamparan kebun bawang milik petani. Tetapi jika ingin cepat sampai dan melihat air terjun, silahkan memakai jasa ojek.
Tempat wisata ini kini dikelola oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis ) Kakaruk Loku yang seluruh anggotanya adalah anak-anak muda. Merekalah yang mendapat tugas sesuai Peraturan Desa Mondu No.6 Tahun 2022 untuk mengelolanya.
"Seluruh pemasukan dari dari karcis, ojek, jualan makanan lokal khas sini, bawang merah petani, kami bagi rata di antara pelaku wisata, kampung adat dan warga yang tanahnya dilewati kendaraan. Semua ada dalam peraturan desa sehingga tak ada pungli. Apalagi seluruh warga di sini sudah vaksin tahap ketiga. Kami ingin  ke depan ada pentas tari-tarian tradisional untuk menarik pengunjung," kata Umbu Renggang, alias Uren (30), Ketua Pokdarwis.
Kampung Raja Prailiu
Hanya berjarak 2 kilometer dari pusat kota Waingapu, Kampung  Raja Prailiu adalah kontras yang lain di tengah modernisasi yang sedang melanda Sumba. Ia tetap mempertahankan keasliannya dengan rumah-rumah adat beratap alang, batu-batu kubur dan tenun ikat. Jika ingin melihat proses selembar kain ditenun, silahkan berkunjung ke rumah-rumah. Pasti selalu ada penenun, yang mayoritas kaum perempuan, sedang bekerja. Kendaraan dapat diparkir di tengah kampung, dan Anda silahkan menjelajah sembari berjalan kaki dari ujung ke ujung. Disebut Kampung Raja karena di sinilah pusat pemerintahan para raja Lewa-Kambera pada zaman kolonial Belanda ketika Sumba masih memakai sistem pemerintahan swapraja.Â
ÂDatanglah ke Galeri Tenun Ikat, sebuah rumah yang menjadi pusat pameran kain tenun ikat. Ratusan kain dan selandang dipajang di sana. Anda tak harus membeli, namun bisa menyewa untuk berfoto dengan latar rumah adat dan batu kubur sembari menunggang atau menggiring kuda. Pemasukan dari karcis dan kain tenun yang terjual di atas 250 ribu akan dipotong 10 persen untuk pemeiharaan sarana-prasarana di kampung ini.
"Juga menjadi kas kampung bila sewaktu-waktu diperlukan untuk acara adat," kata Umbu Pandjara (33) Ketua Pengelola Kampung Adat Prailiu. Kelompok ini digerakkan seluruhnya oleh orang-orang muda. Kini mereka sedang mengupayakan festival kreatif lokal berupa tari-tarian dan makanan lokal.
"Tarian hanya sesekali kami tampilkan. Tapi sekarang kami mau tampil secara teratur. Ini juga dalam rangka mewariskan kekayaan budaya kepada anak-anak kami," kata Rambu Mutiara (48) salah satu tokoh perempuan di Kampung Prailiu.
Pantai Walakeri
Usai dari Kampung Raja Prailiu, mari menyusuri jalanan beraspal mulus ke arah timur sejauh 20 kilometer, melewati savana luas membentang, yakni ke Pantai Walakeri, di Kelurahan Watumbaka, Kecamatan Pandawai.
Kawan, kalau Anda pernah melihat foto golden sunset dengan latar "bakau menari", di sinilah tempatnya. Di pantai ini tumbuh pohon bakau dari jenis Aegialitis annulate berpostur pendek dengan cabang-cabang melengkung menyerupai seorang penari. Ia bakau yang tergolong langka dan hanya ada di beberapa daerah di timur Indonesia, termasuk Sumba.
Kini pengelolaan wisata pantai ini ditangani oleh Pokdarwis Bahtera. Sebagian anggotanya adalah kaum muda, antara lain Priscilla Wartono (21), gadis muda yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di bidang Teknik Informatika. Ia menangani media sosial yang khusus mempromosikan pantai ini.
"Kami selalu update informasi harian tentang pasang surut air di Walakeri karena wisatawan perlu informasi untuk bisa foto-foto di bakau," kata kata Priscilla.
"Bisa masuk IG kami "pantaiwalakiri" atau facebook:Walakiri Beach. Juga bisa ke email 'walakiri2022@gmail.com' untuk bertanya informasi. Begitu ada pesan masuk pasti kami langsung respons," kata dia pada saya pada awal September 2022.
Pantai Walakeri kini sedang berbenah. Mereka membutuhkan antara lain sebuah rumah sebagai tempat menjual hasil kerajinan tangan berupa anting, kalung dan gelang dari kerang dan siput, makanan lokal dan sebagai Pusat Informasi. Jika Adira Finance berkenan membantu mereka, akan sangat berarti bagi pengembangan pariwisata di pantai ini. Â
"Kami sudah agendakan untuk setiap purnama ada pentas tarian padoa," kata Djoni Wartono, Sekretaris Pokdarwis Bahtera. Tarian Padoa adalah tarian khas suku Sabu yang dilakukan oleh puluhan orang sembari bergandeng tangan. Mayoritas warga yang berada di sekitar pantai Walakeri adalah orang Sabu generasi kelima dan keenam sejak bermigrasi ke Sumba pada tahun 1800-an.
Bukit Wairinding
Menjelang sore, sekitar pukul 15.00 silahkan berkendara ke arah barat kota Waingapu. Sejauh kurang-lebih 25 kilometer, hanya sekitar 30 menit. Dalam perjalanan melewati jalan trans-Sumba yang mulus, Anda akan berhenti langsung di sisi bukit Laiuhuk Wairinding. Silahkan mendaki puluhan anak tangga menuju puncak bukit dan menanti matahari sore yang akan terbenam di balik bukit-bukit. Anda bisa berswafoto memakai kain Sumba yang disewa sembari menunggang kuda. Ini momen yang indah.
Tetapi jika Anda ingin menyepi, jauh dari kerumunan, silahkan berjalan menyusuri bukit ke ujung sana, merasakan keheningan dan semilir angin, melepas matahari turun ke peraduan.
Nanti kalau Anda ingin berbelanja kain dan tidak membawa uang kontan, bisa membayar secara digital melalui Qris. Anak-anak muda yang bergabung dalam Pokdarwis Harapan Baru telah menjalin kerjasama dengan sebuah bank untuk kepentingan ini. Demikian pula ketika akan membayar tiket masuk sebesar 5 ribu untuk anak dan 10 ribu untuk dewasa. Bisa kontan, bisa digital.
Kalau Anda ingin ngopi, ada kopi sumba di kedai milik Mama Emilia. Harganya tak akan mengoyak kantong Anda. Hanya 10 ribu. Demikian pula kalau kepingin membawa pulang ole-ole, ada makanan lokal berupa kripik ubi dan pisang, selendang dan kain tenun serta minuman instan kunyit dan jahe, hasil karya anggota Pokdarwis.
"Kini pengelolan Bukit Wairinding hanya melalui satu pintu. Pelaporan keuangan disampaikan setiap bulan dalam rapat dengan aparatur desa," kata Soni Nggalah Amah (25), Ketua Pokdarwis Harapan Baru.
"Ada kecenderungan wisatawan saat ini mengandrungi hal yang berbau lokal baik itu makanan, budaya dan kehidupan masyarakat desa pada umumnya. Maka tugas kami adalah memberikan suasana lokal serta kenyaman. Sedapat mungkin mengedepankan tiga hal yakni apa yang bisa dilihat, dinikmati dan bila perlu ada yang dibawa pulang oleh mereka. Salah satu yang kami gagas adalah festival kreatif lokal ini agar Sumba semakin keren," kata Ida Bagus Punia, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Timur.
Pemda Sumba Timur melalui Dinas Pariwisata tengah berupaya menjalin kerjasama dengan semua pengelola Desa Wisata untuk memberi mereka kepastian hukum. Usai Pandemi Covid-19 melanda Indonesia kebangkitan pariwisata sangat diharapkan karena akan langsung terkait dengan peningkatan perekonomian warga.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H