Ia bereksperimen selama tiga tahun, Nelis selalu mencatat semua unsur yang memengaruhi proses pewarnaan seperti jumlah bahan, waktu persiapan dan pencampuran, serta cuaca ketika itu. Sebab menurut dia, ada beberapa bahan tertentu yang tidak melekat pada benang ketika musim hujan karena udaranya lembab.Â
Nelis juga bereksperimen pada ketebalan kain tenun ikat agar mudah dipakai sebagai bahan fashion. Kecenderungan kain tenun ikat Sumba menurut dia adalah tebal, sementara peminat menghendaki yang tipis dan halus untuk fashion. Bagian ini pun berhasil ia taklukkan.Â
Selain ahli di bidang pewarnaan, Nelis yang lahir pada 1972 ini juga menjadi desainer motif tenun ikat. Selain motif tradisional seperti mamuli, ayam, buaya dan kura-kura yang tetap dipertahan, Nelis menciptakan motif modern seperti patola bunga, patola gajah, patola kamba dan motif binatang dalam bentuk yang lebih kontemporer. Motif modern ini baru ada di sanggarnya, belum dimiliki oleh perajin yang lain.
"Saya secara khusus berterima kasih kepada Yayasan Sekar Kawung Bogor. Merekalah  yang mendampingi kami sehingga paham tentang pelestarian budaya tenun ikat ini. Juga soal peningkatan ekonomi para perajin," kata Nelis.
Karena proses pembuatan selembar kain tenun ikat dengan pewarna alami ini memakan waktu yang lama dengan tingkat kerumitan tinggi, tak heran jika harganya sedikit lebih mahal. Â Menurut Nelis untuk bisa menghasilkan selembar kain yang bagus diperlukan waktu antara 5-12 bulan dengan melewati sekitar 40 tahapan.
"Tergantung juga motifnya sederhana atau rumit. Sekarang bahan pewarna sudah agak mudah didapatkan karena ambil dari kebun sendiri. Tapi yang tidak bisa ditawar ini cuaca. Kalau musim hujan proses penjemuran harus berkali-kali dilakukan. Demikian pula proses pewarnaannya harus dilakukan berkali-kali, karena bahan tidak melekat, to," kata dia.
Sebab itu selendang misalnya,  dihargai 350 ribu rupiah. Selendang untuk ukuran syal  satu juta rupiah. Sementara sarung dan kain berkisar antara 2,5 juta hingga 5 juta rupiah.
"Kalau kain tua pernah saya jual 35 juta. Tapi ini buat koleksi di museum," aku Nelis.
Akhir September 2022 saya datang ke sanggar Mama Dan di Lambanapu. Rumah dan bengkel kerja Nelis hanya berjarak sekitar 500 meter dari sana, dipisah oleh SD Praikundu. Tetapi Nelis hari itu sedang terbang ke Soe di Pulau Timor untuk berbicara dalam sebuah lokakarya tentang pewarnaan alami. Memang Nelis kini kerap dipanggil sebagai pembicara dalam berbagai pelatihan pewarnaan alami. Selain ia ikut pameran di Kupang atau Jakarta atau ke luar negeri.
Sanggarnya juga menjadi tempat belajar wisatawan dari dalam maupun luar negeri. Bahkan beberapa stasiun televisi dari China dan Prancis pernah membuat film dokumenter tentang proses mewarnai benang secara alami di rumahnya.
"Kalau orang dari Barat ini kan suka sekali dengan yang alami ya. Jadi mereka tidak sungkan mencampurkan warna, padahal baunya kan tidak sedap," kata Nelis. Ia kini  telah berhasil menciptakan pewarna alami dalam bentuk tepung padat, yang dijual kepada perajin lain.