Liek Wilardjo, Guru Besar bidang Matematika dan Fisika dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga salah satu penulis yang saya kagumi. Ia membuat segala hal yang ilmiah "mendarat" mulus ke otak saya yang awam tentang nuklir, misalnya. Beliaulah yang masih kerap memakai kata "mangkus" dan "sangkil" untuk menggantikan kata serapan dari bahasa Inggris "effective" (berhasil guna) dan "efficient" (berdaya guna). Kedua kata ini belakangan diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi "efektif" dan "efisien". Â Sementara kata 'mangkus' dan 'sangkil' karena jarang dipakai menjadi 'mati'.
Frase "bukan kaleng-kaleng" yang kini kerap dipakai dalam percakapan kita adalah istilah dari Medan, Sumatera Utara, yang sudah populer di sana, tetapi kemudian  meng-Indonesia  ketika menjadi jargon seorang kreator Youtuber bernama Mael Lee. Dia memang bukan Youtuber "kaleng-kaleng". Artinya Mael Lee seorang youtuber yang diperhitungkan.
Paling aktual istilah ini dipakai oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani: Guncangan Ekonomi Global Bukan "Kaleng-Kaleng" seperti dilansir Kompas (28/10/2022). Ia mau menjelaskan bahwa resesi ekonomi yang mungkin terjadi ke depan adalah hal yang harus serius diantisipasi. Sri Mulyani juga bukan menteri "kaleng-kaleng". Ia menteri yang hebat karena bisa menjaga keuangan Indonesia tetap stabil.
Dahulu kata 'baku' yang berarti 'saling' hanya populer di wilayah timur Indonesia. Kini ia sudah biasa dipakai dalam bahasa tulis maupun lisan kita. "Mereka baku hantam sampai babak belur", misalnya. Atau 'baku injak', 'baku jambak', dan seterusnya.
Remy Sylado adalah salah satu penulis yang secara sengaja memungut kata-kata dari bahasa daerah ke dalam beberapa novelnya. Menurut dia, semakin sering sebuah kata dipakai, akan semakin populer.
"Kata 'pernak-pernik', saya yang bikin. Saya yang menghidupkannya, sekitar 1970-an. Terus kata 'kejutan'  saya yang populerkan untuk mengganti kata 'surprise'. Bahkan kata yang dari struktur kehurufan menyimpang  dari kelaziman bahasa Indonesia, masuk ke dalam KBBI. Misalnya kata 'mbeling'  saya yang cetuskan tahun 1972. Menurut saya, kata menjadi populer tergantung pada frekuensi pemakaiannya. Kalau sering dipakai dia akan jadi populer," kata dia. Â
Menurut Remy, ia tidak akan memakai bahasa Inggris yang keliru kalau ada bahasa Indonesia yang bisa dihidupkan. Misalnya sekarang, kata dia lagi, kenapa harus pakai kata 'quick count'? Ini dua kata,  yang kalau diterjemahkan dua kata juga 'hitung cepat'. Padahal kata dalam bahasa Indonesia yang secara intuitif  berarti hitung cepat adalah 'mencongak'.
Kalau sekarang Anda ke mall dan melihat sepasang muda-mudi begitu mesra, yang cewek atau cowok menggelayut manja pada lengan kekasihnya, kita hanya perlu satu kata untuk menjelaskannya: ngelendot, kosa kata dari bahasa Jawa yang artinya seperti penjelasan di atas.
Jika Anda ke Sumba dan ketemu istilah "menganga loder" itu artinya seseorang yang berdiri melongo menonton sesuatu, atau ia melakukan pekerjaan yang dianggap sia-sia.
Di Depok, Jawa Barat kalau dengar anak-anak riuh dari lapangan dekat kuburan lalu teriak 'slengket...slengket...' itu artinya ia menyuruh temannya melakukan 'sleding' pada lawan, yakni memotong bola dari kakinya. Kata ini berasal dari kosa kata Inggris 'sliding tackle' yakni meluncur ke kaki lawan dengan satu atau dua kaki untuk mengambil bola. Istilah yang sejajar dengan kata 'tabang' atau 'potong duduk' di NTT.
Ada juga kata 'dep' di sana, yakni lawan berlari ke mana saja diikuti. Termasuk kalau lagi jatuh cinta dengan lawan jenis, ke mana saja sang kekasih pergi ia selalu berada di sisinya.
Mereka baku dep terus! Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H