Menurut Alfred, perubahan lirik dari sekolah rakyat menjadi lagu kebangsaan, bukan  permintaan dari pemerintah. "Tadinya lagu itu lagu sekolah, tapi saya jadikan lagu nasional. Kata-kata itu saya dapat sendiri, bukan karena permintaan dari pemerintah," ujarnya.
Tetapi gara-gara lagu itu dirinya masuk daftar hitam Kempetai, polisi rahasia Jepang. "Saya ingat waktu itu dikejar polisi Jepang, karena dinilai terlalu memberi semangat untuk anak muda," kata Alfred. Â Lagu yang diciptakannya sangat patriotis di kuping Jepang. Pemerintah Jepang khawatir timbul pemberontakan dari kalangan pemuda setelah mendengar lagu ciptaan Alfred. "Saya sempat bersembunyi tapi sudah lupa di mana. Saya enggak ingat juga berapa lama melarikan diri," ia mengenang.
Tetapi ironis, meski lagunya dinyanyikan setiap tahun sejak 1945, Alfred tidak pernah mendapatkan bayaran dari pemerintah. "Enggak pernah dapat royalti dari pemerintah sejak dulu sampai sekarang. Hanya dari penerbit yang terbitkan lagu-lagu saya. Mungkin pemerintah tidak kenal siapa saya," kata Alfred.
Menyanyi Sejak Kecil
Sejak duduk di Hollands Inlandsche School (HIS) di Narumonda, Porsea, Tapanuli Utara, Alfred telah sering bernyanyi dalam acara-acara Natal. Kemampuannya bernyanyi dan bermain musik berkembang saat ia belajar di Hollands Inlandsche Kweek School, semacam sekolah guru atas di Margoyudan, Solo, Jawa Tengah (1935-1942). Tahun 1950-1952 Alfred belajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Tahun 1954-1956 Alfred studi lanjut ke  Rijksuniversiteit Utrecht, Leidse Universiteit, Leiden, Stedelijke, Amsterdam, Belanda.Â
Selama tiga tahun pada 1946-1949 Alfred menjadi wartawan surat kabar Sumber di Jakarta. Waktu itu ia diajak Samuel Panjaitan, sahabatnya. Karier jurnalistiknya terhenti karena Sumber dibredel dan dinilai memberitakan hal yang sensitif pada saat itu.Â
"Waktu itu saya liputan semua bidang, tidak hanya politik," katanya.
Alfred mengagumi Cornel Simajuntak pencipta lagu Maju Tak Gentar. Mereka kawan sekolah. "Dia pintar, lagu-lagunya luar biasa. Dia sekolah di Muntilan, saya di Solo. Kalau ujian, kami bertemu di Muntilan. Saya juga mengagumi Binsar Sitompul dan Liberti Manik. Mereka tiga komponis hebat," kata Alfred.
Di Yamuger, Alfred mengagumi sejawatnya sesama komponis Bonar Gultom alias Gorga, Antonius Sutanta, SJ dan Subronto Kusumo Atmodjo. Semuanya sudah almarhum kini.Â
"Bonar Gultom mempunyai ciri lincah dinamis, banyak nada naik tinggi dan tiba-tiba menukik tajam tetapi sangat harmonis. Dia gampang dikenali," ujarnya. Sementara Subronto menurut Alfred sangat Indonesia. "Lagu-lagu Subronto murni Indonesia. Dia tidak dipengaruhi Barat seperti saya. Ada Jawanya tetapi modern, tidak sama dengan kami yang di HKBP," ujarnya. Â Pastor Sutanta dinilainya mencipta lagu-lagu yang ringan dan riang.
"Enak didengar dan lincah," kata Alfred tentang imam Jesuit itu.