Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Andai Anak Diberi PR Sesuai Kecenderungannya

27 Oktober 2022   07:00 Diperbarui: 27 Oktober 2022   07:22 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang Ibu bersama putrinya bersama-sama ke sekolah di Kodi, Sumba Barat Daya, NTT (Foto oleh Lex) 

Tensi tinggi selalu hadir di rumah bila putra kami membawa PR Matematika dari sekolah. Istri saya yang sedikit encer otaknya di bidang hitung-hitungan ini lama-kelamaan nada suaranya kian meninggi, karena si siswa tak paham-paham apa yang dimaksudkan. Kami obrolkan hal ini, coba melihat akar persoalannya apa?

Pertama, si siswa sudah tidak konsentrasi karena sudah lelah. Ia berangkat pukul 06.30 WIB setiap hari dan tiba di rumah pukul 15.00 WIB. Kalau ada ekstrakurikuler bisa pukul 16.00. 

Secara fisik ia sudah lelah, tetapi harus mengerjakan PR untuk besok. Konsentrasinya sudah jauh menurun. Belum ia harus memanggul tasnya yang berisi banyak buku. Sudah seperti tentara berangkat perang.

Kedua, sependek yang saya amati, ada PR yang ia sukai dan ada yang tidak. Kalau matematika ia ogah-ogahan. Tetapi jika Bahasa Indonesia dan PPKN, ia suka. Apalagi yang terkait sejarah dan kisah-kisah yang ia baca dalam medsos. Ia selalu bertanya tentang isu-isu terkini: Mengapa Sambo, mengapa Timnas Indonesia kalah, mengapa Timor Leste merdeka, dll.

Ketiga, melihat kecenderungan ini, saya berandai-andai, jika saja setiap siswa diberi PR sesuai kecenderungan yang ia sukai, betapa ia sangat berkembang di bidang itu. 

Orangtua juga tak perlu pusing-pusing "memaksa"nya untuk menyelesaikan PR yang tidak ia sukai, hanya mendorongnya atau membantu dia mencari jawaban dari hal/pelajaran yang ia minati. 

Tetapi hal ini mengandaikan bahwa guru sungguh-sungguh mengenali setiap siswanya, tahu persis di bidang apa mereka berminat dan apa yang tidak diminati? Apakah ada guru yang demikian?

Kadang-kadang saya berefleksi, apa manfaat nyata dari saya tertungging-tungging belajar matematika tentang sinus-cosinus, tangen-cotangen ketika bersekolah dahulu? Apakah hitungan-hitungan ini saya pakai dalam kerja-kerja profesional saat ini? TIDAK!! Buat apa guru matematika menghukum kami menghitung bemo di depan sekolah sebab tak tahu bagaimana menyelesaikan hitungan-hitungan dalam matematika? Bahwa di antara kami kemudian ada yang menjadi guru matematika dan fisika saat ini, sudah terlihat kecenderungannya di dalam kelas kala itu. Ia selalu tertarik jika guru matematika masuk. Matanya selalu terbelalak bulat-bulat. Rajin sekali ia memperbaiki letak kacamatanya. Duduknya seperti orang gelisah, kayak ada ulat saja di pantatnya. Tapi jujur saja, ia tak paham mana SPO dalam sebuah kalimat pada pelajaran Bahasa Indonesia. Ujian Bahasa Indonesianya sungguh amburadul.

Meskipun tidak persis terkait PR, namun sisi lain dari pendidikan kita ini ingin saya kisahkan. Saya jumpa seorang ibu guru di Tiom, ibukota Kabupaten Lani Jaya, Papua. Perlu naik pesawat ke Wamena dari Sentani, disambung jalan darat 3 jam untuk sampai ke sana.  

Di sana kawan, bahkan anak SMA rata-rata belum bisa membaca lancar. Ibu guru ini bernama Yohana Saiya. Ia mengajar SD dan SMP sejak tahun 1970-an. 

Ia mempersoalkan pelajaran matematika yang menurutnya tidak kontekstual bagi siswa di Tiom dan barangkali untuk Papua pada umumnya. "Buat apa anak-anak ini diajar pembagian berekor yang rumit yang belum tentu dipakai dalam hidup mereka sehari-hari?" kata dia.

Sebab itu pelajaran matematika yang ia berikan adalah yang ia sebut "matematika praktis". Matematika yang kontekstual. Misalnya, kalau si A pergi beli barang ke warung orang Jawa atau Bugis, harga barang adalah 500 rupiah, dan ia membawa uang 1000 rupiah, berapa kembaliannya?

"Ajar mereka hal yang praktis sehari-hari saja. Yang berguna bagi kehidupan mereka kelak," itu prinsipnya.

Seorang Ibu bersama putrinya bersama-sama ke sekolah di Kodi, Sumba Barat Daya, NTT (Foto oleh Lex) 
Seorang Ibu bersama putrinya bersama-sama ke sekolah di Kodi, Sumba Barat Daya, NTT (Foto oleh Lex) 

Dalam setahun ini saya kerap ke Sumba di NTT. Salah satu urusan kami adalah pendampingan guru untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas awal Sekolah Dasar di bidang literasi dan numerasi. 

Cara yang ditempuh antara lain guru mengajar siswa memakai bahasa daerah atau bahasa ibu mereka. Dan ternyata manjur, siswa lebih mudah menangkap pelajaran. Mereka bisa lebih cepat mengenal dan merangkai huruf.  Tugas saya hanya mempublikasikan keberhasilan-keberhasilan itu.

Barangkali hal yang luput dari soal penghapusan PR bagi siswa dan problema pendidikan lainnya adalah kita selalu memandang Indonesia Raya yang luas ini dari kota-kota modern di Indonesia, dan menganggap masalah pendidikan di Surabaya darimana penghapusan ini dicetuskan sama dengan persoalan pendidikan di Papua dan NTT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun