Bagaimana masyarakat suku Kodi di Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Â menandai pergantian waktu siang dan malam, atau terang dan gelap dalam keseharian mereka? Tentu zaman dahulu belum ada jam, dari model apapun. Maka pergantian waktu ditandai dengan tugas rutin merawat dan memelihara hewan, serta perputaran bulan matahari dan bintang.
Antara lain waktu siang dan malam ditandai memakai "ayam" dan "kerbau"
Ketika senja datang, Â mereka menyebutnya "bana detango a manu" (ketika ayam naik ke tempat bertengger). Ini antara pukul 18.00-19.00. Â Ketika pagi turun, antara pukul 05.30-06.00 Â disebut "mburu a manu"( ketika ayam turun dari tempat bertengger).
Sesaat setelah "mburu a manu", waktu akan terus beranjak menuju pukul 07.00. Istilah yang dipakai tidak lagi memakai simbol "ayam" namun "kerbau" yakni, "paloho a karimbyo" (saat kerbau dikeluarkan dari kandang). Â Matahari telah terbit sejam lalu, halaman rumah dan padang penggembalaan sudah terang, saatnya kerbau digiring untuk merumput.
Tengah hari saat panas mulai menyengat, antara pukul 10.00-11.00, ketika para gembala membawa kerbau mereka bernaung di bayang pepohonan  disebut "pa tama karimbyo" (memasukkan kerbau). Anda tahu, kerbau tidak tahan terhadap panas sebab kelenjar keringatnya sangat sedikit dan pigmen pada kulitnya lebih banyak menyerap panas. Maka ia mesti dibawa ke bayang-bayang pepohonan.Â
=000=
Selanjutnya, untuk menghitung tahapan (transisi) dari pagi, siang hingga senja dan malam, dipakai istilah yang terkait  "matahari".
Malam dimulai ketika matahari terbenam. Namun keadaan masih terang. Kegelapan belum sempurna betul (nja hudongo pango=belum malam). Ada metafora  yang biasa dipakai orang Kodi untuk menggambarkan tipu daya atau pencurian/kejahatan yang diambil dari kondisi ini yakni, "na waingo hudo ndoko, lodo ndango" (=memakai kegelapan malam dan remang-remang fajar), yakni ketika segala hal masih samar-samar, tidak gelap tidak terang, ia memakai kesempatan itu untuk melakukan tindakan kejahatan.
Malam merangkak naik menuju kepenuhan.  Jarum jam menunjuk pukul 20.00-22.00 ketika orang-orang  duduk sembari bercerita atau memetik dungga (alat musik petik menyerupai ukulele dengan empat senar) dan bernyanyi. Saat ini disebut "hudo mbolo" (=malam penuh), ketika kegelapan melingkupi seluruh kampung.
Sudah saatnya orang tidur, namun masih sambil berjaga (manduru pa lete konggo a hudo= malam/gelap yang akan membuai mimpi). Tetangga atau pejalan kaki yang melewati kampung masih berseru "permisi" dari kejauhan dan ditanggapi oleh tuan rumah.
Jarum jam terus berdetak. Kegelapan kian dalam dan pekat (na kapandu pohi=sudah gelap gulita), ketika orang mulai terbawa mimpi dalam tidurnya.
Sekitar pukul 00.00 adalah puncak malam dan kegelapan (taloro hudo=malam yang pekat  dan senyap), ketika seluruh makhluk hidup berada pada puncak peristirahatannya. Sebelum secara perlahan dinihari menjelang (=mari myeraho), ketika bintang pagi (venus) mulai muncul.
Dari waktu ini  "pendekatan" memakai bintang dimulai .
Sekitar pukul 02.00 istilah yang dipakai adalah "marou pango a motoromo rara" (=bintang venus itu masih jauh). Sekitar pukul 03.00 dipakai istilah "na tukeka" (= ia  semakin mendekat), dan pada pukul 04.00 "na maranda" (= telah dekat), sebelum pada pukul 05.00 bintang timur itu tampak di ufuk timur (=na hundaka). Ia telah muncul!
Dan  pagi segera menebar kehangatannya!
Bintang timur atau venus yang disebut "motoromo rara" kerap dipakai masyarakat Kodi sebagai metafora untuk menggambarkan sosok yang lahir atau datang sebagai pemimpin. Istilah yang dipakai adalah "eminike a motoromo rara" (= pembawa terang itu telah  datang), yakni  sosok  yang dianggap dapat membawa perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H