Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 50 Tahun 2022 mengatur tentang  seragam sekolah. Salah satu pasalnya mengatur tentang pemakaian pakaian adat.
Pada pasal 3 ayat 1 disebutkan jenis pakaian seragam sekolah, yakni seragam nasional dan seragam pramuka. Pada ayat dua dijelaskan, selain pakai seragam sekolah sebagaimana dimaksud pada  ayat 1, sekolah dapat mengatur pakaian seragam khas sekolah bagi peserta didik.
"Selain pakaian Seragam Sekolah dan Pakaian Seragam Khas Sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat mengatur pengenaan pakaian adat bagi Peserta Didik pada Sekolah," demikian bunyi Pasal 4 aturan yang ditetapkan pada 7 September 2022 itu.
Terkait pakaian adat diatur kembali pada Pasal 9, yakni model dan warna pakaian adat ditetapkan pemerintah daerah dengan memperhatikan hak setiap peserta didik untuk menjalankan agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai keyakinannya.
Salah satu keberatan orang tua siswa adalah, menyoal ketidakpraktisan mengenakan pakaian adat. Jalan keluarnya, mari kita cari yang praktis. Misalnya, para siswa di Pulau Jawa yang memakai kebaya dengan segala perlengkapannya tentu akan membatasi aktivitas mereka. Dus, pada anak-anak SD dan SMP misalnya, mereka masih dalam tahap lebih banyak bermain-main. Berlari-larian. Jadi jarik bisa didesain agar sedikit leluasa. Misalnya dibikin seperti rok namun yang agak lebar. Tetapi jangan lupa, dipakai hanya pada hari tertentu saja bukan? Tidak setiap hari.
Secara pribadi, saya menyambut baik peraturan menggunakan baju adat untuk seragam sekolah. Apalagi pengaturan pakaian seragam sekolah tersebut dalam rangka menanamkan dan menumbuhkan nasionalisme, kebersamaan serta memperkuat persaudaraan di antara peserta didik. Dan tidak dipakai setiap hari, namun pada hari tertentu dalam minggu atau bulan. Pakaiannya juga ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
Yang perlu dipertimbangkan secara serius adalah, bagaimana kondisi ekonomi orang tua setiap siswa? Sebab itu, karena ini ditetap oleh Pemerintah Daerah, merekalah yang paling paham kondisi di daerahnya. Baik penerapan maupun modelnya. Sebab di daerah banyak orang pintar. Juga yang bisa mendesain agar praktis dan murah. Yang bisa dijangkau oleh semua warganya.
Bagi sekolah-sekolah di Pulau Sumba di NTT, meskipun belum semuanya, Â pemakaian pakaian adat bagi peserta didik pada hari atau acara adat tertentu sudah lama dilakukan. Mungkin Mas Menteri mencontoh Sumba? Hehehe, bisa saja. Demikian pula para ASN pada kantor pemerintahan. Juga para pegawai swasta. Sebab itu ada istilah "Jumat Budaya" di sana. Sebab dipakai pada hari Jumat. Pakaian juga didesain sesuai kebutuhan.
Bahkan bukan hanya lembaga pendidikan. Beberapa Paroki (Gereja Katolik) di Keuskupan Weetebula Sumba misalnya, telah menerapkan "minggu budaya" yakni satu hari  minggu dalam bulan di mana umat dihimbau memakai pakaian daerah pada saat mengikuti misa atau ibadat. Dan pada hari itu gereja sungguh semarak. Sebab lagu-lagu dalam misa juga dalam bahasa daerah setempat.
Bagi orang Sumba, kain tenun yang menjadi dasar pakaian adat itu berfungsi serbaguna. Satu untuk semua. Sejak lahir sampai mati kain tenun selalu terlibat di dalamnya. Juga dalam segala urusan sehari-hari: Adat, ekonomi, perdamaian, menerima tamu dan kawin-mawin hingga kematian. Kain Sumba telah menjadi bagian dari hidup sehari-hari warganya.
Ketika dua orang atau dua kelompok berseteru, kain tenun terlibat sebagai alat perdamaian. Ia menyatukan mereka kembali. Perkawinan juga begitu, menyatukan pria dan wanita serta keluarga besarnya dengan kain tenun. Seseorang keluar dari penjara, begitu masuk rumah di kalungi kain tenun. Agar jiwanya kembali ke rumah. Juga para koruptor yang keluar dari penjara.