Akhir Agustus 2021 saya berkesempatan datang ke Kabupaten Sikka di Flores, NTT. Berkeliling ke beberapa kecamatan selama dua  minggu untuk menulis tentang "pendidikan kontekstual" yang sudah lama diterapkan di sana.
Dalam masyarakat Sikka masih hidup berbagai kearifan lokal sebagai mekanisme penyelesaian konflik atau untuk mencapai sebuah kesepakatan melalui musyawarah yang disebut kulababong. Kula artinya musyawarah untuk menghasilkan keputusan; Babong berarti bersama-sama. Â Kulababong berarti pembicaraan untuk menghasilkan sebuah keputusan bersama.
Dalam praktiknya,  Kulababong mencakup rangkaian tindakan untuk mencapai  sebuah kesepakatan melalui musyawarah dan melaksanakan hasilnya. Tingkah laku dalam proses musyawarah membutuhkan sikap toleransi (mendengarkan, menghargai, terbuka, cinta kasih, saling memberi, sabar dan rendah hati), sementara dalam pelaksanaannya membutuhkan sikap tanggung jawab (ikhlas, adil, sportif, disiplin, kreatif, berkomitmen, pantang menyerah, jujur, cinta lingkungan dan memperhatikan kepentingan sesama).  Hanya saja formalisme birokrasi yang semakin menjadi arus utama dalam menata kehidupan bersama membuat model-model penyelesaian melalui mekanisme tradisional semakin mundur dan mulai pudar.
Salah satu cara untuk menghidupkan kembali spirit Kulababong adalah melalui pendidikan di sekolah. Nilai-nilai yang telah ada dalam rahim kultur masyarakat Sikka perlu dihidupkan dan dikembangkan lagi, namun disesuaikan dengan kemajuan zaman. Sebab itu semangat kulababong perlu diajarkan sejak dini di sekolah dasar.
Demi kepentingan inilah dilakukan kerjasama antara Dinas PPO Kabupaten Sikka, Komisi Pendidikan (Komdik) Keuskupan Maumere, Yayasan Persekolahan Umat Katolik (Sanpukat) Maumere, konsultan pendidikan TRUE dari Bogor, WVI, Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (DED) dan Pemerintah Daerah Provinsi NTT. Agar bersama-sama mewujudkan pendidikan karakter yang kontekstual di Kabupaten Sikka. Enam Sekolah Dasar dipilih sebagai proyek percontohan Pendidikan Karakter Kontekstual dengan Spirit Kulababong.
"Kulababong adalah karakter khas masyarakat Sikka dalam  segala aktivitas keseharian. Semua hal dalam kehidupan kami harus dimulai dengan musyawarah-mufakat," kata Leopaldus Maring. Ia guru yang terlibat dalam proses diskusi dan perumusan Pendidikan Karakter Kontekstual dengan Spirit  Kulababong.
"Misalnya nilai pribadi seperti rajin dan tekun. Ada juga nilai yang mengatur hubungan dengan orang lain, hubungan dengan Tuhan. Ternyata cocok diterapkan di sekolah," ungkap Leo.
Dalam prosesnya, mereka juga menemukan banyak hal dari kebiasaan hidup sehari-hari yang bisa dipakai untuk mengajar anak sekolah cepat memahami pelajaran. Misalnya mengajar matematika melalui permainan tradisional.
"Kami belajar perkalian 1x4 dengan menghitung cara orang menyimpan kelapa di sini. Biasanya dalam satu tongkat ada empat buah. Kalau dua tongkat pasti delapan, tiga tongkat berarti 12 dan seterusnya. Murid berhitung dari kebiasaan sehari-hari orang tua mereka. Ketika pelajaran matematika tentang perkalian, mereka tinggal diingatkan soal menyimpan kelapa," ujarnya terkekeh.
Tentang energi gesek yang menghasilkan api mereka belajar dari "ojo", yakni kebiasaan membuat api dari dua bilah bambu dengan cara digesek. Kebiasaan sejak nenek-moyang mereka  dahulu.
Anak-anak kata Leo dapat menggunakan daya kreatifnya untuk memanfaatkan apa yang tersedia di alam. Mereka juga belajar bertahan hidup di mana pun berada.