Topik yang menarik yang diberikan Kompasiana kali ini. Sebuah contoh diberikan. Agen asuransi dengan pendapatan 1 miliar per bulan. Memang ada yang seperti itu. Tetapi perlu kita telisik berapa lama ia berkiprah sebagai agen? Berapa orang yang menjadi nasabahnya? Apakah nasabahnya pribadi-pribadi atau sebuah perusahaan minyak dengan karyawan dua ribu orang, misalnya?
Tak dipungkiri dalam contoh di atas, kesuksesan diukur dari seberapa besar duit yang bisa dihasilkan dari pekerjaan tersebut. Semakin besar angkanya, semakin dinilai berhasil. Tak salah sama sekali. Semua orang butuh uang, bukan? Tetapi bukan satu-satunya tujuan!
Apakah wartawan atau penulis kaya? Ya, bisa saja. Pak Jakob Oetama (alm), Dahlan Iskan, Surya Paloh, Chairul Tanjung dan para taipan media yang lain tentu kaya-raya. Mereka pernah jadi wartawan, lalu bikin media, mengakumulasi modalnya, dan lihatlah Kompas-Gramedia, atau gedung pencakar langit di dekat Stasiun Gondangdia itu. Jadi kalau mau kaya-raya, tirulah mereka, hehehe.
Tapi biasanya kita hanya melihat apa yang tampak, to? Jarang menukik bagaimana mereka memulainya. Tidak melihat proses yang mereka lewati. Kerja keras, pasti. Kerja cerdas, tentu. Namun juga keberuntungan.
Dalam dunia yang serba digital, tentu pekerjaan-pekerjaan yang menyangkut ini menjadi pilihan. Teman saya, seorang penyandang disabilitas daksa, ahli di bidang web designer. Ia kini "memelihara" sekitar 15 web bersama timnya. Padahal ia tidak belajar khusus. Secara otodidak saja. Kepepet saja, karena kalah cepat ke lapangan sebagai wartawan harian, ia banting stir. Jadilah! Penghasilannya? Dia tidak sebut angka, tapi sekitar 15 juta per bulan. Kesimpulan ini saya yang ambil setelah menggabung-gabungkan hasil obrolan kami.
Teman yang lain berada di.....Pulau Sumba. Jauh dari Jakarta. Profesinya mula-mula pemandu wisata. Sekitar 3 tahun di bidang itu, karena sering dimintai tolong memotret oleh wisatawan yang ia pandu, ia jatuh cinta dengan dunia fotografi. Jadilah ia seorang fotografer. Terutama memotret savana dan bukit-bukit di Sumba. Lanskap. Kerjaannya kini hanya jalan-jalan sambil menenteng kamera Nikon dari seri Z7. Juga buka studio kecil di rumahnya, di Weetebula, Sumba Barat Daya. Entah berapa harga kamera ini?
Kalau saya cari foto yang bagus, pasti nomer dia yang saya hubungi. Harga temanlah! Â Beberapa kali hasil fotonya dibeli oleh media dan peneliti dari Jerman. Mahal, karena dibayar pakai mata uang euro. Â Penghasilannya?
"Bisa buat traktir Kakak selama sebulan," kata dia pada saya.
Terakhir,  menjadi penulis freelance, khususnya untuk lembaga-lembaga non pemerintah, alias NGO atau LSM. Sependek pengalaman saya, banyak NGO yang bekerja di Indonesia, terutama yang didanai dari luar negeri. Silahkan klik  di mesin pencari.Â
Berapa di bayar? Lumayanlah untuk menulis satu buku dan 30 menit video Praktik Baik kegiatan mereka. Sebab para NGO ini perlu mendokumentasikan pekerjaannya dalam bentuk buku dan video dokumenter. Untuk dibagikan kepada mitra mereka, selain sebagai bukti pertanggungjawaban.Â
Agar tak penasaran, fee-nya bisalah buat hidup beberapa bulan di Jakarta tanpa bekerja. Belum  jalan-jalan gratis ke tempat liputan saat "belanja" bahan. Pokoknya bawa badan saja!