Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menyusuri Kota Tua Purworejo dan Kebumen

12 Oktober 2022   21:07 Diperbarui: 12 Oktober 2022   21:09 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stasiun Kereta Api Purworejo. Kini menjadi cagar budaya (Sumber:heritage.kai.id) 

Purworejo kota yang lengang. Suatu pagi  akhir September lalu saya mendapatinya masih terlelap.

"Angkot di sini baru beroperasi jam 6 pagi. Jam segini adanya becak dan ojek," kata  tukang becak di depan Stasiun Kutuarjo.

"Ongkos ojek ke Purworejo?" saya bertanya. Ia menyebut angka.

Ada stasiun di Purworejo. Tetapi karena "miskin" penumpang lalu ditutup pada 2010. Soalnya hanya kereta feeder (pembantu) yang melayani Purworejo-Kutuarjo, itu pun sekali sehari.

Menuju Purworejo dari arah barat saya melewati rumah-rumah penduduk. Bangunan mereka permanen atau semi permanen, bertembok bata, dengan arsitektur modern.

Pada sisi kiri membayang Pegunungan Menoreh di kejauhan.  Bagian selatan wilayah Kabupaten Purworejo merupakan dataran rendah. Bagian utara adalah pegunungan yang menjadi bagian dari Pegunungan Serayu. Tetapi pegunungan Menoreh-lah  yang memisahkan kawasan ini dengan Propinsi DIY.

"Ini kota pensiunan. Iramanya  lamban. Akhir-akhir ini saja baru dinamis," kata Lukas Eko Sukoco yang telah menanti kedatangan saya di depan SMP Negeri 1. Ia  adalah Pemimpin Jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ) Purworejo. Telah 25 tahun ia menetap di sini.

 Orang-orang Purworejo yang bekerja di Jakarta atau kota lain di Jawa, begitu pensiun memilih kembali ke sini. Entah karena nostalgia tanah kelahiran atau karena sejarah panjang kota ini  telah memanggil mereka kembali.

"Orang Purworejo bangga disebut orang Bagelen," kata Lukas.

Kota Pensiunan

Menoreh terkenal dalam Perang Diponegoro (1825-1830). Pegunungan yang tampak sambung menyambung itu menjadi basis persembunyian pasukan gerilya sang pangeran. Perang Diponegoro membuat Belanda harus kehilangan 8.000 orang serdadu dan merugi sekitar 20 juta gulden.

Namun Jenderal Markus de Kock, panglima perang tertinggi kala itu bertindak licik. Terus-menerus dipecundangi ia mengajak Diponegoro berunding di Magelang untuk mengakhiri perang. Berunding seharian namun tak menuai hasil, de Kock berstrategi dan menangkap Diponegoro saat itu. Diponegoro dikawal ke Ungaran, lalu Batavia dan dibuang ke Manado. Pada Januari 1855 Diponegoro meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan dan dimakamkan di sana.

Bagi generasi yang lebih muda, Bukit Menoreh adalah kawasan yang sangat populer berkat komik silat dan sandiwara radio di penghujung 1980-an. Ini akibat 396 seri komik besutan Singgih Hadi Mintardja (1933-1999) atau yang populer sebagai SH Mintardja; Api Di Bukit Menoreh.

Patung WR Supratman di Purworejo (Sumber:civitasbook.com) 
Patung WR Supratman di Purworejo (Sumber:civitasbook.com) 

Purworejo melahirkan banyak tokoh ternama. Sebut saja komponis lagu Indonesia Raya W.R. Supratman yang patungnya tegak berdiri di perempatan Panthok di tengah kota Purworejo. Dari Purworejo pula Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal A. Yani, dan Let.Jend Sarwo Edy Wibowo berasal. Yang disebut terakhir ini adalah kakek AHY dari pihak ibu.

Nama Bagelen diambil dari istilah  Kenthol Bagelen, pasukan andalan Danang Sutawijaya, tokoh  muda, anak angkat  Raja Hadiwijaya , yang kemudian naik tahta  bergelar  Panembahan Senopati ing Ngalaga dan menjadi tonggak berdirinya Kerajaan Islam Mataram di Kota Gede Yogjakarta. Pasukan Bagelen terkenal berani dan sangat cakap dalam berperang. Barangkali mereka sekelas Kopassus AD sekarang. Sekarang Bagelen hanya menjadi nama sebuah kecamatan di Purworejo.

Gedung Gereja Kristen Jawa Purworejo (Sumber:sinodegkj.or.id)
Gedung Gereja Kristen Jawa Purworejo (Sumber:sinodegkj.or.id)

Kami menuju pusat kota. Namun serombongan anak sekolah sedang berpawai merayakan HUT Purworejo ke-1.111. Siang itu pusat kota sangat ramai meski matahari begitu terik. Kami berputar ke Jalan Sugiono di mana berdiri Gereja Kristen Jawa (GKJ) Purworejo. Gedungnya dibangun sekitar tahun 1900, dan diresmikan penggunaannya pada  12 Desember 1901. Penginjilan di Purworejo sudah dirintis jauh sebelumnya, yakni pada 1860. Bangunannya masih asli meskipun bagian depannya adalah bangunan baru.  Di dalamnya  terbentang eternit dari kayu-kayu jati kuno yang tebal. Juga terdapat lonceng kuno yang memakai pegas di kanan-kiri untuk bisa "menendang" bandulannya saat berdentang.

 Markas Tentara Pelajar

Keesokan harinya saya telah berada di Prembun, Kebumen, 14 km arah barat Purworejo. Yosua Matius Sumardi telah menelepon beberapa kali. Tetapi di depan Pasar Prembun yang sedang direhab saya tak menyangka akan bertemu pendeta yang memakai blue jeans, t-shirt dan bertopi bisbol.

"Saya pikir  Anda datang kemarin," ujar penulis sejarah GKJ itu.

Sumardi adalah pemimpin jemaat GKJ Prembun. Ia lulus dari magister teologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta dengan disertasi; Sejarah GKJ, Mewujudkan Kemandirian Teologi (1945-1996).

"Proses menjadi pendeta di GKJ sangat sederhana, hampir tanpa dibimbing untuk mengenal 'isi dalam' GKJ terutama sejarahnya. Bagaimana kita dapat menangkap realitas yang ada dalam jemaat kalau sejarahnya saja tidak kita pahami? Tanpa kesadaran dan pemahaman sejarah, kita hanya akan menciptakan pendeta yang gamang terhadap fungsinya bagi gereja," ujarnya.

Kami berdua menuju Kebumen. Tujuan saya ingin melihat gedung di kompleks GKJ Kebumen yang pernah menjadi Markas Darurat Tentara Pelajar pada Perang Kemerdekaan I tahun 1947.

Gedung itu berada di Jalan Pemuda 140, satu kompleks dengan gereja. Pagar besi setinggi dada mengitarinya. Masuk ke dalamnya kami berada di area yang luasnya seperti lapangan sepak bola. Terdapat tugu setinggi tiga meter. Pada pucuk tugu tertulis "Tentara Pelajar Batalyon 300". Inilah Palagan Sidobunder.

Monumen Palagan Sidobunder (Sumber:facebumen.com) 
Monumen Palagan Sidobunder (Sumber:facebumen.com) 

Menurut catatan sejarah, sepasukan kecil dari Seksi 321 Kompi 320 Batalyon 300 Tentara Pelajar di bawah komando Anggoro bergerak menduduki daerah Sidobunder untuk membantu Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Saat menghadang pergerakan Pasukan KNIL Belanda beberapa orang tertembak dalam kontak senjata. Selain gedung pastori yang kini menjadi gedung serbaguna, sukar menemukan lagi sisa-sisa peninggalan dari tahun 1947.

Saat itu GKJ Kebumen dipimpin oleh Pendeta  Reksodihardjo. Ia merelakan pastorinya menjadi markas darurat Tentara Pelajar. "Putra beliau ikut jadi korban dalam pertempuran tersebut," kata Sumardi.

Sekolah Guru Injil

Dari Kebumen kami menuju Desa Wotbuwono sekitar 6 km selatan Kebumen. Sawah dan ladang sepanjang jalan yang kami lewati kerontang oleh kemarau. Tiba di GKJ Karangglonggong kami disambut Prima Adicahyo, pemimpin jemaat di sini. Gereja Karangglonggong sedang direnovasi total. Dibongkar seluruhnya. Padahal gereja ini adalah Gereja Kristen Jawa pertama yang berdiri di Kebumen pada 1911. Sayang bangunannya dibongkar begitu saja, meskipun menurut aturan pemerintah telah termasuk bangunan cagar budaya.

Tetapi walaupun memakai nama GKJ Karangglonggong, gereja ini berdiri di Desa Wotbuwono bukan di Desa Karangglonggong. Di sini terdapat pula Sekolah Guru Injil yang disebut "sekolah ongko loro" kala itu. Bangunannya masih tegak berdiri dan untuk sementara difungsikan sebagai gereja. Dari sekolah inilah lahir banyak Guru Injil yang mengajar ke desa-desa.

"Jemaat di sini secara gampang bisa dikelompokkan dalam dua basis. Yang pertama adalah hasil penginjilan Kyai Sadrach dan murid-muridnya dan kelompok kedua hasil sekolah zending," kata Sumardi.

Watak kedua kelompok ini pun bertolak belakang. Jemaat hasil penginjilan Sadrach lebih mementingkan harmoni dan tidak terlalu "peduli" pada isi Alkitab. Sebaliknya, kelompok sekolah zending senang berdebat dan membicarakan Alkitab.

"Bibit-bibit itu sampai sekarang masih terasa di dalam jemaat," kata Sumardi.

Kembali ke Stasiun Kutuarjo kami melewati kawasan Urut Sewu. Ah, daerah ini pernah "menasional" gara-gara sengketa kepemilikan antara para petani Setrojenar dengan TNI.

Tetapi saat masuk Desa Ambal saya teringat Sate Ambal, khas Kebumen.  Sate ayam ini disiram bumbu kacang kedelai,  dicampur kecap manis. Heran, tak ada warung yang menjualnya di sepanjang jalan yang kami lewati. Pikiran saya melantur. Mana ada nabi yang dihormati di kampung halamannya.

Barangkali begitu juga dengan sate ambal?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun