Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Susah Air di Sumba

13 September 2022   06:22 Diperbarui: 13 September 2022   06:48 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mama Yuliana sedang mengisi jeriken untuk agar mudah dibawa ke rumahnya yang berada di balik bukit (Lex) 

Hati-hati sekali ia menyiramkan air dari ceret plastik itu ke dalam puluhan jeriken berukuran 5 liter di depannya. "Jangan sampai tumpah. Musim kemarau begini air berharga sekali buat kami," kata Mama Yuliana, di sisi jalan Waingapu-Lewa, di Desa Pabotandjara, Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Senin (12/9/2022). Kemarau Panjang yang sedang melanda pulau Sumba membuat warga mesti berburu air untuk keperluan hidup sehari-hari.

"Ada mata air, tapi sekitar 5 kilometer dari sini. Ada di bawah bukit. Harus naik-turun bukit baru bisa dapat," jelasnya lagi.

Yuliana dan warga yang lain menempuh cara lain yakni dengan membeli air dari 'truk tangki' keliling. Dengan harga yang beragam.

"Kalau satu drum aspal begini kita beli lima ribu rupiah. Tapi tapi kalau beli satu tangki besar antara Rp150-200 ribu. Sekitar lima ribu liter isinya," ujarnya.

Menurut Yuliana, untuk keperluan satu rumah tangga, air satu tangki bisa bertahan selama dua minggu. Tapi jika dibagi-bagikan kepada tetangga yang lain, dalam waktu seminggu ia harus memesan lagi.

Yuliana sore itu sedang memindahkan air dari tiga buah drum bekas aspal. Tepat di tikungan sebelum tempat wisata "Bukit Wairinding". Ia membeli dari pedagang air yang kerap berkeliling ke wilayah mereka.

"Begini sudah, Pak. Kita di sini susah air. Jadi yang utama buat minum saja dulu. Buat mandi dan cuci tidak prioritas," kata dia.

Soni, warga Desa Pabotanjara yang lain menyebutkan, untuk keperluan WC bagi wisatawan di Bukit Wairinding, mereka mengisi dua buah profil tank yang bisa menampung 10 ribu liter dua minggu sekali.

"Dalam satu bulan bisa empat kali, jadi sekitar Rp 600 ribu. Tergantung jumlah wisatawan yang datang," jelasnya. Sebab itu mereka mengenakan biaya 5 ribu bagi setiap wisatawan yang memakai WC di sana.

Dokpri
Dokpri

"Tak ada yang keberatan. Karena kebersihan WC kami jaga betul. Demi kenyamanan kita semua," kata dia.

Padahal sekitar dua kilomater dari tempat ini, pada dataran yang landai, ada sebuah sumur bor yang airnya pernah dialirkan ke atas bukit di sisi jalan raya di bukit yang lain. Namun bak itu sudah lama mangkrak karena tak pernah terisi air lagi.

"Ada oknum yang menggergaji pipanya sampai putus. Padahal pipa itu berada dalam tanah," kata dia.

Hampir di semua wilayah di pulau Sumba, air telah menjadi masalah serius. Apalagi kini hutan yang diharapkan bisa menyimpan air semakin berkurang karena telah dibabat untuk pemukiman dan pertanian. Kini hutan di Sumba tak sampai 10 persen lagi  dari seluruh luas pulau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun