Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kuda Sandelwood: Analisa Gender hingga "Menyerang Kalembu"

5 September 2022   09:39 Diperbarui: 5 September 2022   11:02 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Kabupaten Sumba Barat Daya (https://www.kibrispdr.org/) 

Kuda tidak sekadar menjadi ternak dan  alat transportasi di pedalaman Sumba. Ia menjadi simbol kebesaran pemiliknya. Bagi penganut keyakinan Marapu, kuda adalah hewan tunggangan yang mengantar arwah orang yang sudah meninggal dari dunia fana ke alam baka. 

Maka pada hampir semua suku di sana, pada ritual kematian, apalagi bagi kaum bangsawan, wajib mengorbankan seekor kuda. Disembelih pada hari pemakaman. "Ndara Pakalete" istilah di Kodi. Artinya kuda tunggangan (bagi yang meninggal).

Kuda juga "terlibat" dalam ritual kawin-mawin. Ia menjadi hewan yang diperhitungkan dalam membayar belis (mahar/mas kawin), selain kerbau dan babi. Entah kenapa sapi dan hewan lain tak masuk hitungan di sini. Kecuali disembelih untuk lauk-pauk saat makan bersama.

Seorang nona yang akan diboyong dari rumah keluarganya juga akan diberi seekor kuda jantan sebagai tunggangan. Istilahnya sama: Ndara pakalete. Meskipun saat ini kuda tunggangan sudah bisa diwakilkan oleh barang lain, misalnya motor atau mobil. 

Di Kodi, dalam beberapa acara pembelisan  yang saya ikuti, pengganti kuda adalah motor bebek yang baru saja dibeli dari dealer di Waitabula atau Waikabubak. Elok sangat.

Kalau dianalisa, bias gender juga terjadi dalam dunia "peternakan" di Sumba dan Indonesia pada umumnya. Betapa kuda jantan mendapat sorai-sorai, tepuk tangan meriah, sementara kuda betina-yang beranak dan melahirkan generasi baru-melewati jalan sunyi.  

Kuda juga menjadi nama orang di Kodi. Ayah saya bernama "Ndara Jakamere". Dibaptis dengan nama Yosef. Ada juga  (Bapak) Ndara Mete di dekat Gereja Stasi Wikit dan  Rahmat Ndara Japalangga seorang antropolog,  tetangga rumah di Desa Mali Iha. 

Lalu Ndara Tanggu, Ndara Tanggu Kaha, Ndara Kadondo, Ndara Tondo, Ndara Pandaloke, Ndara Haghu,  atau Ndara (saja), dan lain-lain. Teman sekolah saya sejak SMP dan SMA bernama Ignasius Ndara Halato. Kini mukim di Bekasi. Adik saya yang guru SMP punya murid bernama  Ndara Ghenne Manu.  

Kuda Sandelwood di savana Sumba Timur (Sumber: Mangobay.co.id) 
Kuda Sandelwood di savana Sumba Timur (Sumber: Mangobay.co.id) 

"Ndara" juga menjadi nama alias. Misalnya, "Ndara Mlupu" untuk memberi nama pada seorang warga senior meskipun bernama asli (misalnya) Yakobus Rehi Nduni. Atau "Ndara Tanggu Taki", "Ndara Khawa" (karena rambutnya beruban), "Ndara Tanggu Todi" (seseorang yang suka menerima resiko),  "Ndara Kawato" (yang menua), "Ndara Hanga'duto" (suka ngambek) dan sebagainya. Saya mengira, pemberian nama "Ndara" baik sebagai nama asli maupun alias, karena ternak kuda sangat penting kedudukannya bagi masyarakat di Kodi atau Sumba pada umumnya.

Dua kabupaten di Pulau Sumba juga memakai simbol kuda dalam logo mereka, yakni Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Timur. Sementara Kabupaten Sumba Barat memakai "tanduk kerbau" dan Sumba Tengah mengenakan "burung Rangkong" sebagai logo.

Logo Kabupaten Sumba Timur (sumber:https://www.kibrispdr.org/) 
Logo Kabupaten Sumba Timur (sumber:https://www.kibrispdr.org/) 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun