Saya membaca tuntas novel "Crimes and Punishment" karya novelis Rusia Fyodor Dostoevsky (1821--1881). Novel ini terbit perdana pada tahun 1866, setebal 314 halaman dengan terjemahan Indonesia yang bagus.Â
Saya tercengang, Dostoevsky bisa masuk ke dalam pergulatan paling dalam manusia yang digambarkan melalui tokoh utamanya Rodion Raskolnikov atau Roja. Pertanyaan Roja yang paling menyentak (dan barangkali aktual dengan kondisi kita di Jakarta hari-hari ini) adalah: Apakah membunuh itu dosa?
Jika ia dosa, bagaimana dengan banyak tokoh dalam sejarah, dengan mengambil contoh Napoleon Bonaparte, yang membunuh ribuan orang dengan tujuan tertentu namun dianggap "sesuai dengan hati nurani mereka"? Bagaimana pelaku menilai perbuatannya? Bagaimana khalayak menilai perbuatan mereka?Â
Roja, mahasiswa psikologi, yang digambarkan terus berkelahi dengan berbagai pertentangan ide di dalam dirinya, harus putus kuliah karena kemiskinan yang melilit akibat perekonomian Rusia yang sedang sengkarut pada abad 19 itu.ÂDalam kondisi lapar dan miskin ia membunuh seorang janda tua yang dinilainya sebagai "lintah darat", menghisap habis darah orang miskin. Sebab barang berharga ditaksirnya murah, Â namun mengenakan bunga yang sangat tinggi atasnya saat ditebus. Bagi Roja, si janda tua ini adalah pembunuh yang lebih keji ketimbang seorang maling yang terpaksa membunuh karena lapar.
Sebab akibat perbuatannya membuat banyak orang menderita.
Sesuai nuraninya, Roja merasa tak bersalah saat mengayunkan kapak ke atas kepala si janda dan adiknya yang memergoki dia saat beraksi. Dua pembunuhan yang bikin heboh kota Petersburg. (Bandingkan dengan penembakan di Duren Tiga Jakarta yang bikin ramai Indonesia Raya).Â
Namun Roja bimbang usai membunuh. Beragam pertanyaan menyergap batinnya: Apakah membunuh boleh atau tidak boleh? Apakah membunuh adalah dosa atau bukan? Apakah Tuhan mengampuninya atau tidak? Apakah Tuhan telah memberinya keadilan atau tidak?Â
Semua pertanyaan yang bergolak dalam kepalanya itu terus menghantui semenjak peristiwa terjadi,  hingga pada suatu hari ia tak tahan lagi untuk tidak berterus-terang. Semua ide itu terus-menerus bertarung dalam dirinya. Dan Dostoevsky menggambarkannya  secara apik dalam dialog-dialog dengan tokoh yang lain di dalam novel.
Salah satu dialog yang menarik bagi saya adalah ketika Roja bertemu Sonia, perempuan muda yang menjadi pelacur untuk menghidupi ayah, ibu dan kedua adik tirinya.
Secara bebas saya mengutip inti percakapan mereka seperti ini: "Apakah menjadi pelacur adalah dosa dalam kondisi itu? Dan jika Tuhan ada (seperti sering digambarkan dalam agama-agama), di mana IA saat kita menderita kelaparan dan tak berdaya seperti ini?"
Roja menyuruh Sonia mengambil Alkitab dan minta dibacakan perikop ketika Yesus membangkitkan Lazarus seperti ditulis dalam Injil Yohanes. Maria dan Marta digambarkan dalam keadaan sedih dan putus asa, sebab saudara mereka sudah meninggal. Rasa putus asa namun juga kepasrahan dan harapan ditunjukkan Maria:
"Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati. Tetapi sekarang pun aku tahu bahwa Allah akan memberikan kepada-Mu segala sesuatu yang Engkau minta kepada-Nya,"kata Maria.
Pertanyaan sama yang diajukan Roja.
Juga kepasrahan yang sama ketika ia tanpa gentar naik ke lantai tiga kantor polisi dan membuat pengakuan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H