Ternyata "pemain baru" ini tidak  sekadar mengubah kebiasaan menanam padi dan palawija. Ia juga mengubah tatacara hidup dalam masyarakat. Pesta-pesta adat (entah sebagai rasa syukur atau demi pamer gengsi) yang biasanya diselenggarakan usai perayaan Nale, yakni antara bulan Juni-Agustus, kini bergeser di atas itu. Sebab warga yang akan  berpesta menunggu: "setelah panen jambu".  Padahal panen jambu dilakukan pada Oktober dan November. Akibatnya, usai bersenang-senang dalam pesta, hujan segera turun. Lahan belum siap. Padi dan jagung benar-benar telah dilupakan.
Tetapi mari kita tak usah menangisi keadaan. Sudah terlanjur terjadi. Apalagi Kabupaten SBD masuk tiga besar penghasil jambu mete terbesar di provinsi NTT setelah Flores Timur dan Sikka di Pulau Flores. Produksinya mencapai 5 ribu ton pada lahan seluas 10 ribu. Tetapi pohon juga ada masa produktifnya. Dan sekarang rata-rata pohon jambu di SBD sudah berusia 25 tahun atau bahkan lebih. Masa produktifnya sudah lewat. Banyak yang telah ditebangi. Dan tidak diganti dengan tanaman jambu mete yang baru.
Waktu Ndara Tanggu Kaha menjabat Wakil Bupati SBD (2014-2019), saya pernah mewawancarainya. Latar belakangnya adalah pengusaha di Jakarta. Sebelum  terjun ke dunia politik. Maka ia tahu persis jambu mete memiliki harga jual yang lebih tinggi jika diolah terlebih dahulu. Tidak dijual glondongan.
Tapi rencana baik perlu usaha keras. Upaya menampung jambu warga tak terlaksana. Apalagi sampai mengolahnya. Akhirnya warga kembali lagi pada cara lama yakni menjualnya kepada pengepul. Para pedagang perantara. Sebelum para pengepul menjualnya lagi ke pulau lain, antara lain ke Jawa. Dengan keuntungan yang lebih tinggi.
Sekarang persoalannya, apa yang musti dilakukan usai masa produktif pohon-pohon jambu mete ini berakhir? Kembali menanam padi dan palawija?Â
Teman-teman yang memegang kendali di pemerintahan di SBD saat ini adalah anak-anak muda penuh semangat. Semua hal yang saya tulis di atas ini bukan hal baru. Ketika masih sama-sama berkuliah di Yogyakarta, persoalan di atas sudah kerap didiskusikan. Menjadi keprihatinan bersama. Mereka sudah memahaminya. Bahkan sampai ke akar-akarnya.
Permainan di tangan mereka!Â
"Juru Selamat" yang Diabaikan
Saya menilai orang Kodi  sudah membuat semacam "stratifikasi sosial" dalam bidang pangan. Seperti kita menggolong-golongkan masyarakat ke dalam beberapa strata, demikian pula makanan diperlakukan: Padi adalah kelas atas, menyusul jagung dan kemudian umbi-umbian yang menempati strata paling bawah. Tetapi kemudian terbukti selama puluhan atau bahkan ratusan tahun, bahwa makanan yang dianggap "kelas bawah" ini sudah menyelamatkan perut begitu banyak generasi.
Sayangnya melalui cara yang menurut saya kurang terhormat, yakni "kde'ni".
Kde'ni dalam masyarakat Kodi adalah mekanisme pertahanan terakhir ketika seluruh bahan pangan sudah habis. Orang datang ke hutan dan mulai menggali umbi-umbian yang disediakan alam. Biasanya mereka menggali cukup dalam, sekitar 1-2 meter untuk mendapatkan yang disebut "L'ghutta" atau "U'ghi" (uwi) Â yakni umbi sejenis gembili (Dioscorea esculenta) Â atau gembolo (Dioscorea bulbifera). Jumlahnya tak banyak. Mungkin hanya beberapa kilogram. Bisa untuk dimakan beberapa hari. Sebab umbi-umbian itu tak pernah diusahakan secara sengaja. Tak ditanam oleh tangan manusia. Tetapi ditumbuhkan oleh alam.