Salah satu hal yang kerap ditanyakan oleh beberapa teman peneliti  kepada saya adalah, apakah masih ada perbudakan di Sumba, NTT,  saat ini?
Saya jawab iya! Masih ada! Biasanya saya memberi mereka tautan beberapa berita online menyangkut hal ini. Juga fotocopi tulisan panjang dari harian Kompas.Â
Hampir semua tentang perbudakan di Sumba Timur. Baik yang masih memakai sistem dari zaman raja-raja, maupun yang "membeli" hamba dengan cara modern.Â
"Membeli" dalam hal ini dengan cara membayarkan sejumlah hewan kepada orang tua si anak. Dan sang anak ikut serta ke rumah orang yang "membeli" tadi. Ada beberapa kasus yang teman-teman LSM investigasi.
Meskipun kata "membeli" terlalu dramatis-seolah-olah manusia disejajarkan dengan barang-namun menurut saya istilah ini lebih pas untuk dipakai.
Informasi paling baru saya peroleh dari seorang pastor yang bertugas selama 6 tahun di bagian tenggara kabupaten Sumba Timur.
"Kalau ada kerja bakti di gereja, kita wajib datang ke Bapa Raja, biar dia bisa tugaskan hamba-hambanya ikut kerja bakti. Kalau tidak begitu, tidak ada orang yang datang," ujarnya.
***
Saya pernah menulis buku "60 Tahun World Vision di Indonesia". Buku ini tentang sejarah lembaga kemanusiaan World Vision Internasional yang di Indonesia dikenal sebagai Wahana Visi Indonesia (WVI).Â
WVI menjadi bagian dari World Vision International yang kini berkarya pada kurang-lebih 100 negara di seluruh dunia. WVI fokus pada pendidikan dan kesehatan, terutama anak-anak dan untuk kesejahteraan keluarga mereka.
Salah satu narasumber saya adalah James Tumbuan, mantan Direktur Nasional WVI. Ia juga mantan direktur World Vision Myanmar. Ia mengatakan: Cara paling cepat agar seseorang keluar dari kemiskinan dan keterbelakangannya adalah melalui pendidikan!
James tak asal ngomong. Ini berdasarkan pengalaman panjanganya selama 40 tahun bekerja di lembaga WVI.
Saya sepakat dengan James. Hanya pendidikan yang bisa membinasakan kemiskinan dan perhambaan di Sumba. Begitu Anda tidak sekolah, sungguh "madesu". Masa depan suram. Â Sebab hanya pengetahuan yang orang lain tak bisa ambil dari kita. Dan membuat kita berdaya. Yang membuat Anda tidak disuruh-suruh layaknya hamba.
***
Suatu kali saya sampai ke Tomok di Pulau Samosir. Ketemu seorang ibu di Gereja Katolik Tomok. Ia berkisah tentang dua anaknya yang sedang kuliah di Jawa.
"Berat Nak, biayanya," ujar dia. Lalu ia berkisah hal yang lain, tentang kehidupan sehari-hari.
Tetapi pada bagian ini membuat saya tersentuh:
"Kami-nya itu sering makan nasi putih saja. Lauknya sambil memandang foto anak-anak," ujarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H