Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Korupsi Jalur Mandiri: Refleksi Orang Tua

25 Agustus 2022   10:14 Diperbarui: 25 Agustus 2022   10:17 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terjadi di Universitas Negeri Lampung (Unila) mungkin hanya pucuk gunung es. Ia hal yang sudah biasa, sebab juga dilakukan di tempat lain, di lembaga pendidikan yang berbeda, terutama di lembaga pendidikan negeri. Atau lembaga pendidikan kedinasan tertentu. Bahkan pada tingkat yang lebih rendah yakni SMP-SMA.

Mungkin yang saya tulis ini terkesan subyektif sebab saya tidak pegang data, apalagi melakukan penelitian khusus. Tetapi ketika anak kami yang kedua akan masuk SMP, ada banyak tawaran dari sana-sini, yakni dengan membayar sejumlah uang agar bisa mendapatkan kursi di SMP negeri.

"Kalau mau masuk SMP ini.... Silakan hubungi guru ini....," demikian pesan yang beredar.

Angka sudah jelas. Misalnya, tawaran untuk masuk ke sebuah SMP negeri tertentu dengan angka tujuh juta rupiah, meskipun calon siswa tidak masuk dalam zonasi wilayah tersebut, sebagai salah satu syarat untuk bersekolah di sana.

Entah kenapa, ada juga orang tua yang kebelet luar biasa memasukkan anaknya ke sana. Tentu saja dengan membayar sejumlah uang.  Maka percakapan sejumlah siswa SMP dalam angkot ketika pulang mengantar anak saya menjadi refleksi:

"Si anu masuk SMP Negeri loh," kata temannya.

"Kok bisa? Kan nilai raportnya rendah. Pasti masuk karena bayar itu," balas temannya yang lain.

Lalu mereka tertawa-tawa.

Tetapi kemudian saya mendengar kabar bahwa anaknya si A tidak berhasil masuk ke sana, karena ada yang menjadi prioritas. Artinya, bisa jadi karena orang tuanya memiliki pengaruh, atau bisa juga karena ia membayar lebih tinggi.

Selain adanya "jalur" yang disiapkan untuk kepentingan itu oleh pihak sekolah, yang menjadi pertanyaan saya adalah, mengapa ada orang tua yang terjebak di dalam permainan itu? Untuk apa mereka melakukannya? Apakah misalnya jika anaknya bersekolah di sekolah negeri, kemudian kelak ia akan menjadi handal? Tidakkah lembaga pendidikan hanya salah satu faktor dari beragam faktor lain yang menentukan kesuksesannya kelak?

Bahwa anak bisa masuk ke sekolah negeri tentu sebuah prestise tersendiri. Tetapi akan lebih afdol jika itu dilakukan dengan mengikuti prosedur yang sudah ada. Melalui test masuk yang ketat misalnya.

Kami selalu teguh pada pendidikan dalam keluarga. Jika dilakukan dengan benar, mengikuti aturan-aturan yang sudah ada, tidak sogok sana-sini, bahkan untuk masa depannya, niscaya kelak masa depan anak-anak juga akan baik.

Saya menilai orang tua yang melakukan sogok agar anaknya bisa masuk ke sekolah negeri ternama atau institusi tertentu yang bonafid-juga menyogok agar lulus menjadi pegawai pemerintah-itu dilakukan oleh mereka yang hanya memakai "kaca mata kuda". Sebab dunia ini tak sebatas "lulus sekolah negeri". Ia maha luas dengan berbagai kemungkinan-kemungkinannya.

Apakah saya atau kami benci sekolah negeri? Oh, sama sekali tidak. Anak kami yang pertama justru lulus dari PTN. Masuk dengan mengikuti test. Sesuai keinginannya. Sementara sebagai orang tua kami hanya bersiap: Entah loe mau masuk ke mana, silahkan! Kami siap mendukung. Dia melakukan tugasnya, kami mendukung agar bisa dicapai. Dengan cara yang benar dan terhormat.  

Kami hanya berprinsip menyiapkan mereka bisa mandiri. Antara lain diasramakan. Agar kenyamanan rumah tidak melekat dan membuat mereka manja. Juga dalam memilih sekolah, terutama perguruan tinggi. Sementara sekolah negeri tak pernah menjadi cita-cita utama, apalagi dibela-belain dengan main sogok segala.

Sebab kelak, ketika mereka masuk ke dalam dunia kerja, kualitas pribadilah yang menentukan. Kualitas pribadi yang disusun dari rumah, dengan jalan yang benar. Melalui jalan terhormat.

Sebab hanya itu warisan yang kami tinggalkan buat mereka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun