Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Desa Kristen Blimbingsari dan Palasari Bali

24 Agustus 2022   18:27 Diperbarui: 24 Agustus 2022   18:32 3351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami tiba di Desa Kristen Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana di ujung Barat pulau Bali.

Desa yang asri dengan taman yang dipangkas rapi, pekarangan yang ditumbuhi pohon buah-buahan dan rumah-rumah dengan "pagar hidup". Setiap rumah dibatasi tanaman setinggi pinggang orang dewasa.

Barangkali beginilah hidup di desa. Satu sama lain saling menjaga. Rasa saling memperhatikan membuat mereka tidak mambangun pagar tembok yang tertutup seperti di Jakarta.

Berselang sepuluh menit, sebelum melewati tugu  yang membagi desa Blimbingsari menjadi empat kawasan, kami belok kiri masuk pastori Blimbingsari. Sekumpulan gedung dan aula milik gereja merubung di sekitarnya. Depan pastori, setelah melewati halaman yang lapang, berdiri gereja PNIEL dalam arsitektur Bali. Persis di depan gereja terdapat gedung Nitigraha, kantor Perbekel Desa Blimbingsari.

GKPB PNIEL Blimbingsari (Sumber:  jadesta.kemenparekraf.go.id)
GKPB PNIEL Blimbingsari (Sumber:  jadesta.kemenparekraf.go.id)

Melihat Blimbingsari dari udara barulah kita paham bahwa jalan utama yang membagi desa ini dibuat seperti salib. Dari arah utara ke selatan, dibuat jalan panjang, seolah-olah tempat tubuh Yesus, mulai dari kepala hingga kaki terpacak paku. Sementara dari barat ke timur adalah jalan yang lebih pendek, sebagai tempat tangan Yesus yang dipaku di kayu salib. 

Di depan pastori berdiri menyambut Christiana Welda Putranti, pemimpin jemaat GKPB Blimbingsari. Saat kami sedang "kebut-kebutan" di jalan,  saya baru meneleponnya hendak bertamu ke Blimbingsari. Beruntung hari itu dia agak senggang.

 "Bisa kalau hanya ngobrol satu jam," ujarnya dari seberang. Mendengar dialeknya saya yakin tidak sedang berhadapan dengan orang Bali. 

"Saya dari Wonosobo, Jawa Tengah," ujarnya sembari tertawa.

Pendeta Welda lahir di Wonosobo. Ia bertumbuh dalam tradisi Gereja Kristen Jawa (GKJ). Ketika akan menempuh pendidikan pendeta di Fakultas Teologi Universitas Duta Wacana di Yogyakarta, ia memperoleh rekomendasi dari GKJ. Namun pernikahanlah yang membawanya menetap di Bali. Ia kini terkait dengan GKPB.

"Mula-mula saya mendampingi suami  yang bertugas di GKPB Jemaat  Gilimanuk," jelas Welda. Suaminya,  I Putu Yosia Yogiarta  adalah pemimpin jemaat  di GKPB Sion Melaya, GKPB Gilimanuk dan bakal jemaat Candi Kusuma, tak jauh dari Blimbingsari.  Kekurangan tenaga pendeta membuat sang suami merangkap tugas.

Apa boleh buat. Pendeta Welda sekalian saja menjadi pendeta Gereja Bali. "Dua tahun masa vikariat lalu ditahbiskan pada 31 Agustus 2012 di Blimbingsari," kata dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun