Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Berkunjung ke Hila yang Kuno

19 Agustus 2022   07:05 Diperbarui: 19 Agustus 2022   07:09 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu meliput ke Ambon, rekan Benno Kakerisa mengajak saya ke Hila.

"Kita naik 'kapal perang' hahaha," ujarnya terbahak, menunjuk mobil Toyota keluaran 1986 miliknya.

Tetapi meskipun tua, tenaganya masih oke. Mesinnya dirawat baik. Kami menyeberang dari pelabuhan Galala dengan kapal ferry dan turun di Poka. Lalu si "kapal perang" mulai melingkari bukit-bukit menuju utara Pulau Ambon.

Bagi Benno perjalanan ke Hila adalah perjalanan kenangan. Pertama kali ke Hila saat ia ikut piknik sekolah di SD. Tetapi waktu 35 tahun tidak singkat. Hampir tak ada lagi yang membekas dalam ingatannya.

Kira-kira satu setengah jam perjalanan, kami sampai di Desa Hila, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Sebenarnya hanya 35 km dari Ambon. Tetapi karena jalan sempit dan berkelok-kelok, perjalanan memakan waktu lama. Pulau Seram yang kerap disebut "Nusa Ina" tampak di seberang.

Gereja Imanuel Hila berdinding papan dan beratap rumbia. Pintu dan jendelanya berukir dan dicat warna putih dan hijau. Di sampingnya ada menara lonceng, dan di sisi yang lain terdapat papan pengumuman yang menerangkan bahwa bangunan gereja ini telah menjadi cagar budaya.

Gereja Imanuel  menjadi bukti toleransi umat beragama di Hila. Waktu gereja beserta pemukiman Kristen di Hila dibakar pada kerusuhan 1999, warga menangis. Mereka tak kuasa melawan massa dari luar daerah yang beringas.

"Tetapi waktu ada tim yang mau membangun kembali gereja ini warga muslim di sini sukarela membantu," kata Pak Syukur, juru kunci gereja.

Berkat Pak Syukur pula kebersihan gereja Hila tetap terjaga. Rumput di halamannya dipangkas rapi.

"Sebelum kerusuhan masih sering dipakai untuk ibadah warga Nasrani. Sekarang tidak lagi, kecuali ada permintaan khusus," jelas Pak Syukur.

Gereja Hila dibangun antara tahun 1780 -1781 dibawah pemerintahan Eillem Beth Iacobs, Kepala Comtoire Hila pada masa pemerintahan Gubernur Belanda Bernardus van Pleuren. Gereja ini ditengarai sebagai bangunan peribadatan kristiani tertua di Maluku.

 Hanya berjarak 200 meter dari gereja Imanuel, berdiri megah Benteng Amsterdam. Fungsi awal bangunan ini adalah gudang penyimpanan rempah-rempah oleh bangsa Portugis. Tetapi waktu Belanda menang di Maluku dan Portugis terusir dari sana, gudang penyimpanan ini dijadikan benteng VOC. Sekitar tahun 1640, Gubernur Gerard Demmer memugarnya dan berganti nama menjadi Benteng Amsterdam.

Benteng Amsterdam (foto: Lex) 
Benteng Amsterdam (foto: Lex) 

Sebelum memasuki bagian dalam benteng kita terlebih dahulu merayapi tembok-tembok setebal 2 meter.  Pada tiap sudutnya terdapat "lubang" meriam, yang menghadap laut. Pembatas antara tembok bagian luar dan gedung utama, adalah tanah lapang seluas lapangan badminton. Melewatinya kita berjumpa sumur di samping kiri pintu utama.

Pintu itu  lebih mirip "lubang jarum" seperti cerita dalam Alkitab. Hanya cukup dilewati satu orang dewasa. Sempit.

Lantai dasarnya gelap, lembab dan berbau. Tak ada lubang angin. Pada tembok, dekat tangga kayu untuk naik ke atas ada prasasti yang menerangkan tahun pembuatan dan kapan renovasi dilakukan. Lantai dua dan tiga berlantai papan jati tebal berusia ratusan tahun. Dari sini pandangan bisa dilepas jauh ke Teluk Baguala di depannya.

Barangkali karena jarang angkutan umum sampai ke sana, sedikit orang berkunjung kecuali hari libur.

"Sadikit saja Bapak yang ke sini. Tidak sampai dua puluh pengunjung tiap hari," kata penjaga cagar budaya itu.

Azan dzuhur berkumandang dari menara Masjid Wapaue ketika kami sampai di sana. Siang sedang terik-teriknya. Sejauh mata memandang hanya langit biru. Hujan masih enggan mengunjungi Hila waktu itu. Serombongan anak SD baru saja keluar sekolah. Merekalah yang menunjuk letak masjid. Tak jauh, hanya berjarak 500 meter dari Gereja Imanuel.  

Masjid Wapaue (foto: Lex) 
Masjid Wapaue (foto: Lex) 

Masjid Wapaue terbuat dari kayu, beratap rumbia dan berlantai semen hitam. Nama Wapaue dalam bahasa daerah Kaitetu berarti "di bawah pohon mangga Barabu",  sebutan untuk mangga hutan di sana. Memang  di sekitar masjid terdapat banyak pohon mangga. Tetapi mangga yang sudah dibudidayakan warga.

"Kalau Bapak mau sholat, silakan masuk," seorang ibu menyapa dengan senyum. Saya bilang kami Nasrani. "Oh, baik sudah Bapak. Silakan foto-foto," ujarnya lagi. 

Mesjid Wapaue dibangun tahun 1414, sehingga dinilai sebagai mesjid tertua di Indonesia. Tetapi dalam banyak buku sejarah yang telah terbit, Masjid Demak di Jawa Tengah yang dibangun Raden Patah (selesai tahun 1479) yang dianggap sebagai masjid paling tua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun