Saya jadi tahu FWH suka novel Dokter Zhivago-nya Boris Pasternak. Dia juga gandrung dengan Mangunwijaya, Gerson Poyk, Pramudya Ananta Toer dan, yang dia hafal di luar kepala adalah alur cerita dari novelet The old Man and the Sea-nya Ernest Hemingway. Saya menduga, karena Hemingway  menulis tentang memancing. FWH penghobi berat mancing.
Saya sudah baca novel ini dua-tiga kali. Dari yang terjemahannya paling buruk, sampai yang canggih oleh kawan yang lulus dari Sastra Inggris Sanata Darma. Sehingga ketika FWH bercerita tentang Santiago, saya sebenarnya sedang mendengar cerita tentang Santiago  dalam wujud FWH.
Novel The Old Man and the Sea (Lelaki Tua dan Laut) hanya sepanjang 26 ribu kata, tetapi menjadi salah satu karya Hemingway yang sangat dipertimbangkan kala ia menerima Nobel Sastra pada 1954.
Saya kutip sedikit saja: Seorang nelayan tua bernama Santiago berhasil memancing seekor ikan marlin raksasa di Teluk Meksiko. Ini teluk yang dihindari karena gelombangnya yang tinggi. Karena ikan sangat besar (beberapa kali lebih besar dari perahunya) Santiago tidak dapat menarik ikan tersebut. Sebaliknya perahu kecilnya yang dihela oleh sang marlin. Dua hari dua malam ia diseret ikan, tetapi Santiago tetap menahan tali pancingnya. Ia tidak menyerah, meskipun ia sangat kesakitan dan terluka. Sebaliknya di tengah kesengsaraan itu  Santiago merasakan sesuatu yang membuatnya terharu dan menaruh hormat pada si marlin yang hendak ia taklukkan. Santiago kerap menyebut sang ikan sebagai "saudaraku".
Singkat cerita Santiago berhasil membunuh si marlin. Menyeretnya pulang. Tetapi sepanjang perjalanan, bangkai ikan habis dimakan gerombolan ikan hiu. Ketika sampai di pelabuhan, tersisa kerangkanya saja. Para nelayan dan turis yang melihatnya bahkan tidak mengenali bahwa itu kerangka ikan marlin, king of sea yang paling dicari oleh para pemancing ulung.
Waktu kami berjumpa pada Juni itu, FWH bercerita juga tentang hobinya memancing. Hampir semua muara, pantai, sungai di daerah Sumba Timur sejak dari Lewa sampai Melolo sudah ia pijak. Tak ada muara yang terlalu jauh untuk dia datangi. Kebanyakan dengan berjalan kaki. Secara jujur FWH bilang, "Adik-adikmu ini kami hidupi dari hasil pancing dan menulis." Â ("Adik-adikmu" yang FWH maksud adalah putra-putrinya. Sebagai tanda kedekatan dengan lawan bicara).
Tentu saja FWH tidak beralih menjadi nelayan, menangkap dan menjual ikan. Dari penjelasannya saya paham bahwa gizi putra-putri mereka tetap terjamin, meskipun dalam kondisi tidak punya uang sama sekali. Gaji sebagai seorang guru swasta yang kecil, bisa ditopang dengan honor menulis. Tetapi kalau dipakai untuk membeli lauk bergizi, jelas tidak cukup. Dan mereka tidak pernah membeli lauk. Dus, alam sudah menyiapkannya.
FWH juga yakin pada hukum alam: Kebaikan akan dibalas kebaikan.
"Seperti itulah Allah berkarya dalam hidup manusia," kata dia menyimpulkan.
Tetapi bukan karena demi mendapatkan "pahala" itu yang membuat FWH dan Mama Elisabeth menampung banyak orang di rumah mereka, entah itu punya pertalian darah atau tidak. Bukan itu pula yang membuat mereka berbuat baik kepada siapa saja tanpa memikirkan diri sendiri dan keluarga.
Tetapi keyakinan "kebaikan berbuah kebaikan" justru lahir dari pengalaman FWH sendiri yang pernah merasakan kebaikan orang lain atas dirinya, sejak ia bersekolah di Kodi sampai kuliah ke Yogyakarta, hingga hari ini.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!