Masyarakat berharap Rato Loghe mampu bernegosiasi dengan pemerintah kolonial Belanda untuk menyampaikan kepentingan rakyat Kodi. Sementara pihak Belanda berharap Rato Loghe dapat menerjemahkan kepentingan mereka kepada masyarakat Kodi.
Selain pandai berbicara dan mengenal seluk-beluk adat istiadat di Kodi, pemilihan terhadap Rato Loghe juga menemukan pembenaran simbolisnya karena ia sebagai keturunan dari Tohikyo, kampung yang menyimpan berbagai benda keramat yang dihormati rakyat Kodi. Antara lain adalah guci, dengan rongga yang lebar pada mulutnya, berisi air dan memberi kehidupan, dianggap sebagai personifikasi perempuan. Sementara tongkat emas pemberian Belanda (tokko) dianggap pengejawantahan laki-laki karena panjang, kokoh, dan bisa digunakan sebagai senjata [3].
Gabungan dua benda itu dianggap sebagai perkawinan simbolis, membawa kekuatan dan wibawa bagi pemegangnya, dan dihubungkan dengan jabatan raja yang diemban Rato Loghe.Â
Sebagai bukti pengangkatannya sebagai Raja Kodi, selain menerima tongkat emas tersebut, Rato Loghe juga menyetujui "Perjanjian Pendek" yang berisi kesetiaan dan ketaatannya terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Secara tidak langsung dan tanpa disadari, setelah menyetujui Perjanjian Pendek di atas, Rato Loghe menjadi bagian dari pemerintahan kolonial Belanda.Â
Sebagai pejabat pemerintah kolonial Belanda, Rato Loghe segera diminta menyediakan tenaga kerja untuk proyek pembangunan jalan dan jembatan agar hubungan antardaerah bisa terbuka dan lancar.
Ketika Rato Loghe yang memerintah dari tahun 1905-1911 ditangkap Belanda karena menggelorakan perlawanan di Kodi dan tewas dalam penjara, ia digantikan oleh keponakannya Rato Dera Wulla yang memerintah hingga 1943.Â
Ketika Rato Dera Wulla wafat, ia digantikan oleh Hermanus Rangga Horo hingga 1962, ketika sistem pemerintahan berubah menjadi Republik Indonesia. Raja Horo, demikian disapa, adalah raja terakhir di wilayah Kodi dan menjadi camat pertama dalam sistem pemerintahan Indonesia. Ia meninggal dunia pada tahun 1985. Â Â
Sumber bacaan:
[1] Alex Japalatu, Wona Kaka, Perang Melawan Belanda di Kodi 1911-1913 (Nafiri Sion Publishing, 2021)
[2} Umbu Haramburu Kapita, Sumba Di Dalam Jangkauan Jaman, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1979.