Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Dari Medan ke Samosir ke Serambi Mekah

15 Agustus 2022   22:45 Diperbarui: 15 Agustus 2022   22:50 1216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Becak motor, salah satu alat transportasi berkeliling Banda Aceh  (Foto:Lex) 

Saya akhirnya sampai ke Medan, Sumatera Utara. Saya berpikir, kalau bisa ke Pulau Samosir alangkah eloknya. Hanya perlu waktu sekitar 5 jam lagi naik travel ke sana. Setelah selesai beracara di Medan, keesokan harinya saya meluncur ke Samosir, dengan pesan yang jelas kepada sopir, "Tolong diturunkan di penyeberangan kapal ferry Parapat. Saya mau ke Tomok."

Dalam perjalanan itu baru terasa bahwa sopir travel di Sumatera sama "sinting"nya dengan para sopir travel di Flores. Mereka menekan gas tak kira-kira. Saya rasa kami melaju rata-rata 100 km per jam. Tetapi waktu di Flores itu, saya sungguh berdoa dalam hati agar jangan sampai celaka. Sebab sopirnya masih muda, musik dalam mobil diputar keras, sembari ia asyik membalas WA atau telepon. Tak jarang stir ia putar pakai sikutnya.   

Sembari itu, dalam perjalanan saya sibuk menelepon. Memastikan bahwa Pater Kris Dodok, CMF masih berada di Tomok. Kris adalah pastor kepala di Paroki Tomok. Dia masih kelas 5 SD ketika saya masuk SMP di Homba Karipit di pulau Sumba. Tetapi saat dia studi filsafat dan teologi di Universitas Sanata Darma Yogyakarta, kami berjumpa lagi.

Demikianlah saya punya tempat yang dituju di Samosir. Dan Pater Kris pada suatu hari mengajak saya mengelilingi pulau ini, dari Tomok melewati Tuk Tuk, Ambarita, Pangururan, hingga Tomok lagi. Di Pangururan kami singgah makan siang di gereja paroki.

Tiga hari di Tomok, saya berpikir lagi, bukankah saya sudah di pulau Sumatera? Mengapa saya tidak sekalian menjelajah hingga Aceh? Tapi nanti di Aceh saya akan ke daerah mana dan menginap pada siapa? Makhlum kawan, ini perjalanan dengan modal nekat saja. Meskipun tiket pulang ke Jakarta sudah dikantongi.  

"Ada gereja Katolik di Banda Aceh. Bisa nginap juga," kata Pater Kris. Namun ia tak punya nomer telepon pastor yang bertugas di sana.

Saat berada di Bandara Kualanamu barulah saya menelepon beberapa teman, dan mendapatkan kontak Romo Herman Satar, Pr. Dia imam projo Keuskupan Agung Medan. Orang Manggarai, Flores. "Sentimen" kedaerahan saya pakai. Karena sama-sama dari NTT. Dan, waktu itu saya bilang, mau menulis tentang kekristenan di Aceh. Sebab selama ini mungkin tidak banyak yang tahu bahwa di Banda Aceh misalnya, ada gereja. Berarti ada orang Kristen juga di sana.

Gereja Katolik Banda Aceh (Foto:lex) 
Gereja Katolik Banda Aceh (Foto:lex) 

Begitu saya memperkenalkan diri dan menyampaikan keinginan untuk menginap beberapa hari di pastoran, Romo  Herman oke saja. Kemudahan luar biasa bagi saya, karena untuk penginapan dan makan tak perlu keluar biaya sama sekali. Bahkan bisa makan enak setiap hari.  Kopi? Jangan bilang lagi. Mau yang jenis apa?

Jadilah saya tinggal selama empat hari di Banda Aceh. Dan bisa berkeliling sepuasnya.

Tak dinyana, di Banda Aceh pula saya justru ketemu suster biarawati, adik kelas ketika SMP di Kodi dahulu. Dia sudah beberapa tahun bertugas di Banda Aceh, mengajar TK dan SD. Sekarang ia sudah pulang ke Sumba dan memegang SMP di Waikabubak, Sumba Barat.  Dalam beberapa kesempatan,  kami berjumpa di pastoran dan ngobrol dalam bahasa Kodi. Dunia terasa hanya seperti sebuah desa kecil. Setelah berpisah hampir 25 tahun, justru ketemunya di Banda Aceh.

Romo Herman Satar, Pr (kiri), penulis dan para suster (dokpri) 
Romo Herman Satar, Pr (kiri), penulis dan para suster (dokpri) 

Saya membuat catatan perjalanan. Setelah berada di Jakarta. Seperti di bawah ini:

***

Lampu taman  yang lindap, angin pantai yang dingin, dan malam yang beranjak larut di Pantai Ulee Lheue, Banda Aceh, awal Desember. Kopi kami belum habis ketika Baron Pandiangan, Pembimbing Masyarakat Katolik  Provinsi Aceh, mengajak pulang.

"Sudah larut. Besok lagi kita ngobrol," ia meminta.

Beringsut menuju mobil, Baron  merogoh saku celananya. Dua kali suara klik, mesin bergetar halus. Memutar ke arah kota, kami meninggalkan belasan pemancing di bibir tembok pemecah gelombang. Dari kejauhan mereka tersisa bayangan hitam.

"Sekarang aman. Inilah  sisi positif tsunami. Orang dari berbagai bangsa datang membantu membuat masyarakat Aceh lebih terbuka," kata Baron.

Kami terus berkendara ke pusat kota. Jalanan mulai sepi. Lewat  di depan Masjid Raya Baiturahman, sekelompok orang sedang mengaji. Di sisi kiri, di seberang jalan,  berdiri menyerupai kapal, Museum Tsunami Aceh. Di sampingnya kompleks Persekolahan Budi Dharma  milik yayasan Katolik. Salah satu sekolah favorit di Banda Aceh.

"Itu jalan menuju kerkhof, makam Belanda," Baron menunjuk jalan beraspal yang tak begitu lebar. Letaknya bersebelahan dengan gerbang sekolah.

Penjaga Malam 

Jalanan searah. Mobil memutari alun-alun kota. Di ujung lapangan kami berbelok ke kiri menanjak di jembatan Pante Pirak. Air krueng Aceh melintas di bawah. Warnanya coklat pekat. Tepat di ujung jembatan, di depan Markas Komando Militer (Makodam) Sultan Iskandar Muda, Baron memperlambat laju mobil. Lalu berhenti. Saya turun.

"Sampai besok," ucapnya.

Ia tancap gas ke utara kota. Masih sekitar 7 km untuk sampai ke Kompleks Perumahan Samaritan di Mataie, Darul Imarah, Aceh Besar.   Baron tinggal di sana, di daerah yang berbukit-bukit.

Kapal Pembangkit Listrik Apung di Gampong Punge Blang Cut (foto:Lex) 
Kapal Pembangkit Listrik Apung di Gampong Punge Blang Cut (foto:Lex) 

  

Tetapi di gerbang Gereja Hati Kudus Banda Aceh dua tentara penjaga malam memelototi saya. Mereka sebenarnya berjaga di pos provost Makodam. Jarak kedua tempat ini hanya 5 meter.

  

"Mau ke mana, Pak?" seseorang bertanya.

Saya mendatangi mereka. Kami bersalaman. Saya mengatakan kalau menginap di pastoran.

"Asli mana,Pak?" yang tadi bertanya lagi.

"Jakarta," jawab saya.

"Apanya Pastor Herman?" kali ini temannya yang bertanya.

"Kawan sekolah waktu SD," jawab saya sekenanya.

Saya menawarkan rokok. Masing-masing mencabut sebatang. Kretek tanpa filter.

"Sekarang Aceh aman, Pak," kata yang badannya lebih tinggi, Saksono, orang Magetan, Jawa Timur. "Mau pulang jam berapa saja tidak jadi soal. Kalau dulu salah-salah kita jadi sasaran peluru," terang dia.

***

Gereja Katolik Hati Kudus di mana saya menginap di pastorannya, berada di Jalan Ahmad Yani no. 2. Dalam kompleksnya terdapat TK dan deretan kantor gereja. Posisi gereja seperti berada di tengah huruf "U". Sekelilingnya asrama Makodam dari satu sisi ke sisi yang lain.

"Tanah asrama Kodam dahulu milik gereja. Tetapi kemudian dilakukan tukar guling. Gereja mendapat tanah di Blang Oi tempat sekolah Budi Dharma berdiri sekarang," kata Romo Herman. Paroki Hati Kudus meliputi daerah Meulaboh, Takengon, Lhokseumawe serta Pulau Sabang. Jumlah umatnya 1.030 jiwa.

Jalanan di Banda Aceh lebar-lebar. Dua arah. Selain dinaungi pepohonan rimbun, juga bersih. Warga Banda Aceh tidak membuang sampah sembarangan. 

Pusat Kota Banda Aceh bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari Gereja Katolik ini.  Tak seberapa jauh. Paling-paling satu  kilometer jaraknya. Pusat kota ditandai oleh Tugu Simpang Lima.

Tugu Simpang Lima sekitar 10 meter tingginya. Waktu tsunami 2004 terjadi, tugu ini kerap kena sorot televisi karena  menjadi tempat para korban tsunami diletakkan. Ada pula video yang menunjukkan warga berlarian melewati persimpangan ini, saat air mulai menggenang beberapa meter.  

Tetapi sekarang, kalau tak ada Museum Tsunami Aceh, Kapal Pembangkit Listrik Apung di Gampong Punge Blang Cut dan kapal kayu yang hinggap di atas rumah di Gampong Lampulo, sukar rasanya mempercayai bahwa kota ini pernah luluh-lantak oleh gempa dan tsunami besar. Tiga tempat ini sekarang  ramai dikunjungi wisatawan.

Papan penunjuk  di depan Gereja Katolik Banda Aceh  (foto:Lex) 
Papan penunjuk  di depan Gereja Katolik Banda Aceh  (foto:Lex) 

Dari arah Gereja Katolik, pasar Peunayong terletak di sebelah kiri. Ini  pasar terbesar di Banda Aceh. Tetapi kalau berjalan lurus kita masuk Jalan  Panglima Polem menjumpai toko yang berderet-deret. Vihara Dharma Bakti di Jl. Panglima Polem 70 tampak mencolok dengan cat warna merah. Di sinilah tempat beribadat masyarakat Buddha Banda Aceh.

Saya belok kanan menuju  Jalan Pocut Baren. Segera tampak GPIB Banda Aceh. Gereja ini berbatasan tembok dengan Gereja Metodist Indonesia (GMI) Banda Aceh. Berjarak 500 meter dari keduanya berdiri HKBP Banda Aceh.  

GPIB masih bangunan lama. Berdiri sekitar tahun 1930. Hanya tembok bagian depan dan dua menara di sisinya yang tampak baru. Diaken Roby Jexon Tefu, mengatakan, jemaat yang tercatat sekitar 118 orang. "Hampir semuanya pendatang dari luar baik yang menetap di sini seperti PNS dan anggota TNI Polri. Kalau perayaan Natal semua jemaat hadir sehingga gereja penuh," jelasnya.

 Gereja Metodist Banda Aceh sudah berusia setengah abad lebih.  Secara resmi berdiri pada  1957. Meskipun jemaat sudah mulai melakukan ibadat-ibadat sejak 1938. Mula-mula berupa gereja dari papan di dekat Pasar Peunayong. Tetapi saat Jepang masuk pada 1942, gereja ini dipakai sebagai gudang. Jemaat tercerai-berai. Barulah ketika Indonesia merdeka, mereka membeli tanah dan membangun gereja di lokasi di mana gereja berdiri saat ini.

"Waktu gempa dan tsunami gereja kami hancur. Kami mengajukan  IMB yang baru ke pemerintah. Atas bantuan banyak pihak, LSM, BRR, kami bisa membangun gedung gereja baru," terang Pendeta Johan, pemimpin jemaat.

Jemaat GMI  berjumlah sekitar 340 jiwa. Mayoritas keturunan Tionghoa. "Karena itu kami bisa melakukan kebaktian keluarga karena rata-rata tinggal berdekatan. Kayak pecinan gitu," terangnya.

Pernah terjadi masalah. Seorang penginjil yang mengaku sebagai anggota GMI membaptis orang di rumahnya. "Wah itu jadi heboh. Saya sampai dipanggil keucik (kepala desa) dan polisi. Ditanyai ulang-ulang. Orang di Aceh sini memang sensitif dengan isu kristenisasi. Tapi mereka sangat terbuka kalau ibadat dilakukan di kalangan orang Kristen sendiri," jelasnya.

 

Dua Martir Aceh 

Hampir empat abad silam, pada tahun 1638, darah dua orang martir telah tumpah di Aceh. Mereka adalah Pastor Dionisius Nativit, OCD dan Bruder

Redemptus Cruc OCD.  Keduanya dibunuh saat Sultan Iskandar Tani berkuasa.

"Di sini lokasi gereja Katolik pertama didirikan. Beberapa bulan lalu masih ada sisa-sisa temboknya. Sekarang sudah dibongkar semua. Di sini Dionisius dan Redemptus dibunuh," kata Baron pada saya. Tanah tempat  gereja itu berdiri telah menjadi milik PT KAI. Letaknya persis di bibir pantai Ulee Lheue.

Warung kopi mudah ditemukan di setiap sudut kota Banda Aceh (foto:Lex) 
Warung kopi mudah ditemukan di setiap sudut kota Banda Aceh (foto:Lex) 

Dionisius yang bernama asli Pierre Berthelot lahir di Honfleur, Perancis, 12 Desember 1600. Ayahnya adalah dokter dan nahkoda kapal. Ia berbakat di bidang pelayaran dan ahli menggambar peta untuk navigasi pelayaran. Tak heran, Pierre diangkat sebagai navigator L'Esprance, kapal dagang ekspedisi Perancis ke India, walaupun usianya baru 19 tahun. Namun naas terjadi, L'Esprance takluk di tangan VOC dalam perebutan rempah-rempah. Pierre menjadi tawanan di Jawa.

Begitu dibebaskan, Pierre mengadu nasib ke daerah koloni Portugis di Malaka. Ia bekerja pada Portugis. Namanya melejit berkat kejeniusan dan keberaniannya sebagai pelaut. Hal ini memikat hati Raja Portugis, yang menobatkannya sebagai 'ahli navigasi dan pembuat peta Asia'.

Salah satu karyanya, peta Pulau Sumatra hingga kini tersimpan di Museum Inggris. Dari Malaka, Pierre hijrah ke Goa, India. Di sinilah Pierre putar haluan. Ia masuk Biara Karmelit di Goa pada 1635.  Pierre memilih nama biarawan Dionisius Nativit.

Suatu saat Wakil Raja Portugis di Goa, Peter da Silva menghendaki  Dionisius  ikut dalam kunjungan  persahabatan kepada Sultan Iskandar Tani di Aceh pada 1638.

Dionisius akan dijadikan navigator dalam pelayaran, sekaligus Bapa Rohani bagi delegasi Portugis yang ingin memperbaiki relasi dengan Aceh. Dionisius juga fasih berbahasa Melayu.

Dionisius meminta agar Bruder Redemptus Cruc OCD mendampinginya dalam perjalanan itu. Bruder Karmelit yang bernama asli Thomas Rodriguez da Cunha itu adalah mantan serdadu Portugis yang ditugaskan di Goa. Ia menjadi bruder dan bekerja sebagai penjaga pintu biara, pelayan imam, koster, penerima tamu, dan pengajar anak-anak. Mereka berangkat pada 25 September 1638, dengan satu kapal dagang dan dua kapal perang.

Sebulan kemudian mereka berlabuh di Kutaraja atau Banda Aceh saat ini. Penduduk menyambut baik. Namun Belanda menghasut Sultan Iskandar Tani. Belanda mengatakan bahwa misi Portugis hendak melakukan kristenisasi kepada masyarakat Aceh yang sudah memeluk agama Islam.

Becak motor, salah satu alat transportasi berkeliling Banda Aceh  (Foto:Lex) 
Becak motor, salah satu alat transportasi berkeliling Banda Aceh  (Foto:Lex) 

Termakan hasutan Belanda, semua anggota misi Portugis ditangkap. Mereka disiksa dan  meringkuk di penjara dalam kondisi mengenaskan selama sebulan. Kehabisan akal, Sultan Iskandar Tani pun mengeluarkan maklumat untuk menghukum mati para tawanan itu.  Pembantaian massal pun terjadi pada 29 November 1638.

Peristiwa pendaratan dan pembantaian utusan Portugis ini disinggung juga dalam catatan perjalanan Karl May ke Aceh dan Padang dalam buku "Dan Damai di Bumi" (KPG. Cet.2,  2016). 

"Konon setelah dibunuh jenazah Dionisius dan Redemptus tetap utuh selama tujuh bulan. Jasad keduanya tetap segar dan tak sedikitpun membusuk," kata Baron.

Dua jenazah itu dimakamkan secara terhormat di Pulau Dien atau Pulau Buangan, sebelum dibawa ke Goa dan disemayamkan di sana. Berselang 260 tahun kemudian, Gereja Katolik memberi gelar beato atau  orang suci, kepada mereka. Peringatan dua martir Aceh itu diadakan tanggal 29 November setiap tahun. (Lex/Sumber)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun