Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Musim Berganti di Airo

13 Agustus 2022   16:49 Diperbarui: 13 Agustus 2022   17:00 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis dan Johny Noya (kanan) bertemu di Depok (dokpri) 

 Hari ini saya berjumpa kawan lama, Johny Noya. Kami sudah saling kenal sejak tahun 2006 ketika berjumpa di Pantai Kasuari, Papua Selatan.

Saya terakhir berjumpa Johny ketika ke Maumere, NTT,  Agustus 2020,  untuk melakukan wawancara dan riset. Lalu ia berpindah tugas ke Jakarta. Karena kesibukan masing-masing, kami baru bisa jumpa setahun kemudian, di sebuah cafe yang nyaman di Jalan Pemuda Depok, Jawa Barat.

Kenangan dan banyak kisah pendampingan yang Johny ceritakan. Saya ingat lagi bahwa pada pertemuan di Pantai Kasuari itu, kami pernah memacu speedboat ke arah Airo, untuk berjumpa Pak Guru Stefanus Sumarno, yang pada 2019 lalu terkena musibah di Asmat. Perahunya terbalik, dan ia tewas bersama beberapa siswanya. RIP

***

Bila kemarau tiba di Airo, rawa-rawa telah surut. Hamparan hutan sagu menjadi dataran kering yang bisa dilewati. Pohon-pohon  tumbang dan batu sungai seperti jembatan bagi pejalan kaki. Pada musim seperti ini, Stefanus Sumarno (38), guru di SD Airo, perlu waktu 12 jam berjalan ke Kamur, ibukota Distrik Pantai Kasuari di Kabupaten Asmat, Papua.

Malam akan segera menjemput Stef dalam perjalanan pulang. Melewati rute yang sama ia merambah hutan sagu dan bukit-bukit. Sebilah kelewang terselip di pinggang, berjaga-jaga dari serangan binatang buas. Di pundaknya tersemat 15 kg beras, bumbu, minyak goreng dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Sering, lelaki asal Lampung ini memilih tidur di hutan menunggu fajar menyingsing. Di rumah telah menanti istrinya Yolanda, dan dua anak mereka.

Musim hujan datang. Seluruh daratan di Asmat, termasuk Airo, akan terkubur air setinggi 1-3 meter. Air yang melimpah-ruah ini membawa berkah tersendiri. Masyarakat gampang menjangkau hutan atau kampung lain dengan bersampan. Jalur bisa "dipotong". Jarak tempuh lebih singkat.

 "Ke Kamur hanya perlu lima  jam mendayung," kata Stef yang setiap bulan mesti ke Kamur mengambil gaji.

Memakai speedboat atau motor tempel sebenarnya lebih cepat. Airo- Kamur hanya kurang-lebih 1,5 jam saja. Tetapi perlu biaya sekitar Rp 1,8 juta pergi-pulang ketika itu. Perhitungannya sebagai berikut; bensin  telah menjadi Rp10 ribu per liter. Olie Rp 25 ribu per liter. Padahal perjalanan perlu 160 liter bensin dan 8 liter olie.

"Gaji saya hanya Rp1,5 juta. Berarti ndak cucuk," ujar Stef ketawa. Speedboat bukan pilihan utama.

Tetapi air berlimpah juga membawa bencana. Tanaman tomat, cabe, jagung dan sayur-sayuran yang diusahakan pada musim kemarau membusuk terendam air. Namun petaka lebih besar akan terjadi jika musim barat datang berlarut-larut. Angin kencang dan gelombang besar di laut Aru akan membuat kapal pemasok kebutuhan pokok emoh berlayar ke daerah-daerah di Asmat. Pesawat kecil yang khusus beroperasi ke sana juga enggan terbang. Lewat dari satu bulan tanpa pasokan, roda perekonomian di Kamur telah mati.

Para penggiat kemanusiaan Wahana Visi Indonesia (WVI) di Kamur kerap "terjebak" musim barat yang berlarut itu.

"Kami pernah tertahan 3 bulan di Kamur. Seminggu terakhir hanya makan mie kadaluarsa," kenang Alo Bambang, Direktur WVI Merauke yang membawahi Pantai Kasuari, Merauke dan beberapa daerah sekitarnya. Sam Wambrauw, Adrie Sadu dan John Noya telah melewati tujuh kali musim barat di sana, merasa jerih saat musim itu datang.

***

Sepanjang sisi Sungai Kronkel, Koock dan Fayit di Asmat berdiam suku-suku Asmat, Sawi, Kaigar, Awuyu,dan Athokaem. Perang  antar suku memang telah lama berakhir. Tetapi mereka masih terganjar keterbelakangan yang luar biasa.

Transportasi yang sulit dan mahal membuatnya sulit dijangkau dari dunia luar. Begitu pesawat MAF yang mengantar kami kembali mengangkasa, putuslah hubungan dengan dunia luar. Jangan berpikir pesawat rutin ke Pantai Kasuari. Kadang sebulan sekali, tetapi lebih sering 3-4 bulan. Dalam ganjaran keterbelakangan, terpencil dan sarana-prasarana yang buruk, WVI, guru seperti Stef Sumarno, gereja dan pemerintah sedang menangani dua hal pokok; kesehatan dan pendidikan. Dua faktor ini butuh penanganan luar biasa.


Namun seperti diakui para pekerja LSM dan aparat pemerintah, cara pandang masyarakat masih sulit diubah. Sekolah belum menjadi pilihan utama. Orangtua merasa lebih aman mengajak anak-anaknya berburu atau mencari sagu ke hutan ketimbang masuk sekolah.

Berminggu-minggu lamanya, bahkan bulanan. Target usia 7 tahun bersekolah belum tercapai. Bagi orangtua usia demikian masih terlalu kecil. Menginjak 12-13 tahun barulah mereka melepas anaknya masuk kelas 1. Namun, segera saja di kelas 4 atau 5, kasus lain akan segera datang. Banyak yang putus sekolah.

Kami disambut oleh masyarakat di Kampung Primapun di Distrik Pantai Kasuari, Papua Selatan (Dokpri) 
Kami disambut oleh masyarakat di Kampung Primapun di Distrik Pantai Kasuari, Papua Selatan (Dokpri) 

"Rata-rata putus sekolah di kelas 4 atau 5 karena kawin," terang Stef yang suatu ketika nyaris diamuk orangtua murid gara-gara menghukum anak yang berbuat tidak senonoh di kelas.

Dalam situasi seperti ini, Stef Sumarno telah bertahan 13 tahun mengajar seorang diri di sana. Sebenarnya ada 3 guru di SD Airo. Kepala sekolahnya akan pensiun. Yang seorang lain telah pergi entah ke mana.

 "Banyak guru yang tidak tahan hidup di sini karena kondisi yang sangat minus," kata Stef.

***

Siang menjelang ketika saya  dan John Noya tiba di SD Airo. Stef sedang memacul tanah di samping rumah. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. "Buat tanam sayur," ujarnya kepada kami. Bibit sayur dan cabe,  Stef pesan lewat seorang teman yang sedang ke Merauke 2 minggu lalu.

Menjadi guru bukan pilihan  Stef ketika ikut transmigrasi ke Merauke tahun 1991. Sesampai di Merauke, Stef yang lulus SPG di Lampung Utara bekerja menjadi kuli bangunan yang membangun jalan Merauke-Tanah Merah. Tahun 1994 ia akan dipindah ke Fak-Fak. Stef menolak. Saat itu seorang temannya mengajak ikut testing pegawai negeri, untuk menjadi guru.

"Saya tidak ingin jadi guru. Tahun 1992 Uskup Agats pernah minta saya mengajar tapi saya tolak. Tetapi begitu ikut test langsung lulus dan ditempatkan di Airo. Sekarang saya sudah cinta dengan guru," jelas Stef yang dikirim Ke Airo tahun 1994.

Tidak hanya mengajar 150 murid SD Airo sendirian. Stef merangkap sebagai guru agama Katolik yang memimpin kebaktian setiap hari Minggu. Sesekali ia juga menjadi juru damai dalam pertentangan antar kampung dan bidan yang menangani kelahiran.

 "Saya harus bisa tangani semua, karena orang tidak tahu harus minta tolong kepada siapa lagi. Pemerintahan jauh, puskesmas juga harus ke Kamur," kata Stef yang berharap akan datang tenaga guru yang dapat membantunya mengajar.

Perjuangan Stef di daerah terpencil belum disertai kesejahteraan yang memadai. Ambil contoh ketika anak keduanya lahir lewat operasi cesar. Yang mengurus semua biaya, mulai dari ongkos pesawat Kamur-Merauke PP hingga biaya operasi cesar adalah WVI. Pemerintah hanya membantu sekadarnya saja, itu pun setelah diklaim.

Dan kalau Stef mau bertahan dalam kondisi yang serba darurat, hanya karena ia merasa Tuhan telah mengutusnya ke Airo. "Saya prihatin dengan situasi masyarakat di sini. Kalau saya juga pergi, bagaimana dengan anak-anak mereka? Saya rasa Tuhan yang mengutus saya ke sini, Dia pula yang menjaga kami sekeluarga," yakin Stef.

Kami akan pulang. Stef dan Yolanda istrinya memberi bungkusan. Isinya intip, kerak nasi yang telah digoreng. Di atas kepala kami gumpalan-gumpalan awan sedang berarak, pertanda sebentar lagi musim akan segera berganti di Airo. (Lex)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun